JEJAK.CO – Dua hari yang lalu, tepatnya pada awal tahun Islam atau tahun hijriah. Penulis dapat sebuah kiriman tulisan dari salah satu senior. Setelah baca satu persatu dari beberapa tulisan tersebut, ada yang beri kritik dan apresiasi dengan sudut pandang beragam yang ditujukan pada lagu ciptaan Bupati Sumenep Achmad Fauzi yang berjudul “Mencintai tanpa Dicintai”.
Seiring dengan viralnya lagu Mencintai Tanpa Dicintai, dalam kesempatan yang sama juga dibanjiri respons dan sensitivitas netizen. Ada yang mengungkapkan bahwa buah karya Bupati Fauzi tidak punya nilai populis dan tak mengisyaratkan rasa empati pada masyarakat miskin di Sumenep. Selain itu juga, diungkapkan bahwa dengan lagu itu, pemerintah Sumenep terkesan hedonisme; menari di atas kemiskinan masyarakatnya.
Sementara di lain pihak, menilai bahwa pada dasarnya lagu “Mencintai tanpa Dicintai” tidak menyiratkan keputusasaan, melainkan menyimpan harapan-harapan. Perjuangan dan pengorbanan. Setiap pengorbanan akan melahirkan karya. Lagu itu juga, jika dilihat dengan pikiran yang jernih. Maka, produktivitas harus dimiliki oleh semua pemimpin, tak kecuali pemuda hari ini.
Dalam kesempatan ini, penulis cukup bersyukur sedikit banyak tahu informasi tentang situasi dan kondisi Sumenep. Terlebih lagu ciptaan Bupati Sumenep tersebut sedang meledak serta menjadi perbincangan sejumlah pihak. Dan mungkin saja pihak tertentu, tidak semua.
Bagi masyarakat yang melek teknologi, baik dari kalangan akademisi, pemuda, dan aktivis yang punya pemahaman tentang makna dan pengetahuan dalam memaknai sesuatu. Lagu itu, setidaknya bisa diseret ke berbagai perspektif yang proporsional. Bisa juga melahirkan pro dan kontra. Kritik dan apresiasi. Hingga menjadi pelajaran hidup.
Tetapi bagi masyarakat yang bisa dikatakan dapat mengakses internet, tapi enggan membaca informasi yang berkembang tentang Sumenep. Apalagi masyarakat awam tidak punya akses tentang perkembangan Sumenep. Lebih-lebih lagu yang sedang viral hari ini. Maka, bagi mereka karya Bupati Sumenep tersebut tidak berarti apa-apa. Tidak berdampak positif dan konkret serta keberadaannya tidak dapat dirasakan langsung oleh mereka. Viral atau tidak belum tentu mereka tahu, apalagi disuruh memaknai pesan tersirat dalam lagu tersebut.
Lain dari pada itu, penulis tidak bermaksud menafikan karya Bupati Sumenep itu. Penulis sebagai akademisi, cukup menghargai dan mengapresiasi karya bapak Fauzi. Lagu “Mencintai tanpa Dicintai” merupakan buah karya luar biasa yang dicipta oleh orang nomor satu di Sumenep. Selebihnya, beliau yang diamanatkan untuk memimpin Sumenep, Dia juga manusia. Karya yang sudah diciptakan merupakan hukum alam yang senantiasa dapat mengekalkan eksistensi kemanusiannya. Karena manusia dicipta untuk berkarya. Sebab dengannya hidupnya akan abadi.
Oleh karena itu, sebagai kepala pemerintah daerah kritik dan nyiyiran dari sejumlah pihak adalah hal wajar yang harus diterima dengan ikhlas sebagai daya dorong kemajuan Sumenep ke depan. Selain itu, yang lebih berarti dari peristiwa ini. Bupati lebih lagi fokus bekerja dalam pemulihan stabilitas, pendidikan dan ekonomi masyarakat sebagaimana yang terus didengungkan oleh Presiden Joko Widodo setelah dilanda pandemi berkepanjangan yang sampai hari ini belum stabil. Bapak Fauzi, setidaknya dan seharusnya melahirkan karya yang lebih konkret lagi sehingga eksistensinya dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung.
Dan bukan berarti karya dengan sebuah lagu tidak penting. Terkadang dengan lagu mampu menciptakan revolusi. Tetapi yang lebih penting dari itu, dan yang perlu diperhatikan adalah bagaimana masyarakat benar-benar bisa merasakan kemajuan, kesejahteraan dan keamanan hidup selama kepemimpinan Bupati Fauzi melalui karya-karyanya. Selain itu, perlu disadari tidak semua masyarakat bisa memahami makna fundamental yang disampaikan Fauzi melalui lagunya. Sehingga bagi masyarakat awam, bisa saja karya itu tidak berarti sama sekali. Bahkan cenderung apatis hingga di negasikan. Bukan hanya lagunya, sekaligus penciptanya. Karena bagi masyarakat yang dibutuhkan adalah gagasan dan karya konkret atau nyata yang dapat mendongkrak terjaminnya hidup.
*Penulis tinggal di Yogyakarta