JEJAK.CO – Saya sebenarnya malas untuk berdiskusi. Termasuk melalui tulisan. Apalagi mendiskusikan sesuatu yang tidak berkait-kelindan dengan kehidupan saya sendiri.
Saya malas bertarung wacana yang bisa jadi tidak akan ada habisnya. Terutama jika salah satu pihak terus berusaha memaksakan kehendak agar pihak lain bersepakat dengan wacana yang dilemparkannya.
Pada tulisan kali ini, saya ingin menegaskan bahwa, setiap orang memiliki rasa dan cara pandang masing-masing terhadap sesuatu dan membuat sesuatu.
Memaksa pihak lain agar memiliki rasa dan cara pandang yang sama terhadap sesuatu, bagi saya, itu kekanak-kanakan. Apalagi tidak ada jaminan, rasa dan cara pandangnya itulah yang terbaik.
Setiap orang, saya rasa, memiliki ukuran ideal masing-masing. Jangankan ukuran ideal pada sesuatu, terhadap rasa asin sebuah makanan pun terkadang antara satu orang dengan orang lainnya tidak sama. Karena rasa bukan warna yang bisa membuat banyak orang mudah bersepakat.
Lalu, apakah menilai sesuatu itu merupakan tindakan terlarang. Saya tidak sedang mengatakan hal itu. Seseorang boleh menilai sesuatu bahwa, itu “begini dan begitu”. Tapi minimal dia harus menawarkan sesuatu, yang tentunya apple to apple, bahwa itu harusnya “begitu dan begini”.
Apakah “menawarkan sesuatu” yang lain menjadi syarat untuk sebuah penilaian? Tidak ada aturan pasti mengenai hal tersebut. Tapi jika betul-betul objektif dan mau memperbaiki sesuatu, tentu hal itu perlu dilakukan.
Kemudian, ketika sudah dilakukan apa sudah selesai? Belum tentu. Karena bisa jadi, “tawaran sesuatu” itu justru ada yang memberikan penilai balik bahwa, seharusnya bukan “begitu dan begini”, tapi “begini dan begitu”. Loh, kok? Sekali lagi, karena setiap orang punya rasa dan cara pandang masing-masing terhadap sesuatu.
Oh, iya. Di sini sepertinya saya perlu menjelaskan, kenapa “menawarkan sesuatu” dan mengujikannya ke publik perlu dilakukan oleh seseorang ketika menilai sesuatu. Alasan pertama, dan ini tentu subjektif, agar seseorang tidak ke-pede-an; merasa paling bisa dan pada akhirnya merasa paling berhak untuk menghakimi sesuatu.
Alasan kedua, agar publik yang melihat, mendengar, dan atau membaca penilaian yang disampaikan lebih teryakinkan bahwa, sesuatu itu harusnya memang “begitu dan begini”, bukan “begini dan begitu”.
Alasan ketiga, agar penilaian yang dibuat tidak menimbulkan kesan sebagai penilaian yang merawak-rambang, tapi betul-betul objektif. Dengan begitu, si pemberi penilaian akan terhindar dari berbagai macam “cap”.
Terakhir, saya ingin membuat satu kesimpulan sederhana: mencintai tanpa dicintai tidak berbahaya. Yang berbahaya justru merasa paling benar. Apakah saya termasuk orang yang merasa paling benar? Semoga tidak. Dan saya selalu memohon kepada Tuhan, khususnya saat salat: “ihdinas shirathal mustaqiim.” Wallahu a’lam.
Guluk-Guluk, 31 Juli 2022