Antara Proyek Strategis Nasional dan Hak-Hak Masyarakat Lokal – Jejak

logo

Antara Proyek Strategis Nasional dan Hak-Hak Masyarakat Lokal

Jumat, 13 Juni 2025 - 01:26 WIB

5 bulan yang lalu

Oleh: Retno Meilani*

Proyek Strategis Nasional sering kali dipromosikan sebagai jalan pintas menuju kemajuan. Sayangnya, PSN kerap mengorbankan satu elemen fundamental yakni hak-hak masyarakat lokal.

Di bawah pemerintahan Prabowo dan Gibran, agenda PSN tidak hanya dilanjutkan, tetapi diperluas secara signifikan. Pemerintah bahkan menempatkan PSN sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional dengan tujuan mengurangi ketimpangan wilayah, menarik investasi, dan memperkuat konektivitas antar daerah dan sektor. Ambisi ini, dalam tataran konsep, memang layak diapresiasi. Sebab Indonesia memang membutuhkan terobosan untuk mengatasi stagnasi pembangunan di berbagai daerah. Namun yang perlu disadari adalah ambisi pembangunan nasional tidak boleh menciderai hak-hak konstitusional masyarakat lokal. Dalam sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang dijamin oleh konstitusi, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya, tata ruang, dan pembangunan sesuai dengan karakteristik lokal.

Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, terdapat 29 proyek PSN baru dan 48 PSN carry over dari masa pemerintahan sebelumnya. Proyekproyek tersebut mencakup beragam sektor strategis, mulai dari transportasi, energi, kawasan industri, air dan sanitasi, pariwisata, teknologi informasi, hingga MBG (Makan Bergizi Gratis). Di bawah ini disajikan data persebaran PSN di 34 provinsi di Indonesia (Izzuddin, 2025). Melalui peta ini, penulis mengajak pembaca untuk tidak semata-mata memandang PSN sebagai proyek teknokratik berskala besar, tetapi juga sebagai bentuk intervensi langsung terhadap ruang hidup masyarakat. Maka, penyusunan dan pelaksanaan PSN seharusnya mempertimbangkan keadilan spasial, sensitivitas sosial, dan perlindungan atas hak-hak warga negara. Adapun data persebaran PSN di 34 provinisi di Indonesia adalah sebagai berikut:

(Sumber: Rasunnah, ANM., et al., 2024)

Gambar diatas bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana proyek-proyek PSN menjangkau hampir seluruh wilayah Nusantara, yang mencerminkan ambisi negara dalam mempercepat pembangunan secara merata. Namun, di balik jargon kemajuan dan kepentingan nasional, terdapat realitas sosial yang sering diabaikan yakni konflik yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat lokal. Data dari Komnas HAM menunjukkan dalam periode 2021-2023, terdapat 98 aduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran HAM akibat PSN, dengan 72 di antaranya berasal dari kelompok masyarakat rentan, termasuk masyarakat adat (Nasional et al., 2024). Lebih lanjut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 2024 terjadi 295 konflik agraria yang berdampak pada 67.436 keluarga di 349 desa. Kenaikan letusan konflik mencapai 21% dibandingkan tahun 2023 yang berjumlah 241 kasus. Angka ini bukan sekadar angka, melainkan potret kegagalan negara dalam melindungi warganya dari dampak negatif pembangunan yang semestinya membawa kesejahteraan.

Dalam banyak kasus, PSN justru melangkahi kewenangan daerah. Proyek besar dipaksakan masuk dengan dalih kepentingan nasional tanpa dialog yang berarti dengan masyarakat terdampak. Tanah adat diambil tanpa persetujuan, kawasan ekologis diubah menjadi kawasan industri, dan ruang hidup warga diabaikan atas nama investasi. Dalam konteks ini, PSN tidak lagi menjadi simbol pembangunan, melainkan wajah baru dari ketimpangan struktural. Ini jelas bertentangan dengan semangat desentralisasi. Otonomi daerah seharusnya bukan sekadar formalitas administratif, tetapi mekanisme nyata untuk memastikan bahwa pembangunan menghormati keunikan lokal, budaya, dan hak-hak dasar warga negara.

Namun, alih-alih dilibatkan dalam proses perencanaan, masyarakat justru sering dihadapkan pada penggusuran paksa, intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi. Penggunaan produk hukum sebagai legitimasi, kerap kali menyingkirkan prinsip-prinsip keadilan prosedural. Regulasi dijadikan sebagai tameng kekuasaan, bukan alat melindungi warga. Dari sisi hukum tata negara, praktik semacam ini berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan memperoleh lingkungan hidup yang baik. Pasal 28D juga menegaskan hak atas perlindungan yang sama di hadapan hukum. Namun dalam PSN, masyarakat sering kali tidak memiliki posisi tawar yang setara di hadapan negara dan korporasi pelaksana proyek. Pemerintah berdalih bahwa proyek PSN membawa manfaat besar bagi masyarakat luas. Namun, manfaat ini menjadi semu jika proses perencanaan dan pelaksanaannya menyingkirkan keadilan sosial.

Pembangunan yang berkeadilan menuntut pendekatan yang menghormati hak-hak individu, kelompok rentan, dan komunitas lokal. Pendekatan top-down yang mewarnai PSN juga menunjukkan bahwa semangat desentralisasi yang dibangun sejak reformasi telah diabaikan. Otonomi daerah semestinya memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan kondisi lokal. Namun, dalam praktiknya, pemerintah daerah sering kali hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat tanpa memiliki kewenangan penuh untuk menilai dampak sosial dan lingkungan proyek PSN di wilayah mereka.

Dalam filsafat politik republikanisme, kebebasan warga tidak hanya berarti bebas dari kekangan fisik, tetapi juga dari dominasi kekuasaan yang sewenang-wenang (Robertus Robert, 2021). Negara yang baik bukan yang menguasai warganya secara sepihak, melainkan memberikan ruang deliberatif yang adil bagi semua. Ketika warga tidak bisa menolak proyek yang merugikan mereka, menggugat kebijakan, atau memperoleh ganti rugi yang layak, maka negara telah gagal menjalankan prinsip nondominasi. Untuk itu, pendekatan pembangunan dalam PSN perlu direformulasi. Pertama, keterlibatan publik harus dijamin secara substansial dan deliberatif sejak awal. Kedua, pemerintah pusat wajib menghormati otonomi daerah dan tidak memaksakan proyek tanpa persetujuan lokal. Ketiga, mekanisme perlindungan hukum bagi masyarakat terdampak harus diperkuat. Keempat, audit sosial dan lingkungan harus independen dan terbuka. Dengan kata lain, pembangunan yang baik adalah pembangunan yang tidak hanya membangun jalan, bendungan, dan gedung tinggi, tetapi juga menjaga ruang hidup, martabat, dan hak-hak rakyat. Negara tidak boleh terjebak dalam logika pembangunan yang ekonomis. Sebab, pembangunan sejati adalah pembangunan yang membebaskan, bukan menindas.

Prof. Purwo Santoso (2010), dalam “Satu Dekade, Separuh Jalan Proses Desentralisasi”, menegaskan bahwa “kebijakan adalah proses politik, hanya saja, politisasi kebijakan perlu dikerangkai secara administratif agar nuansa politiknya tidak liar dan agenda yang hendak diwujudkan tetap bisa dikelola.” Artinya, PSN sebagai kebijakan politik sarat kepentingan kekuasaan. Namun, tanpa kendali administratif yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, PSN mudah berubah menjadi alat represi. Dalam sistem desentraliasi, PSN wajib menghormati prinsip otonomi daerah. Ketika pemerintah pusat memaksakan proyek tanpa persetujuan daerah dan tanpa melibatkan masyarakat, maka itu bukan pembangunan, melainkan pemaksaan. PSN yang dibungkus dengan narasi efisiensi dan pembangunan, tetapi pada realitasnya minim pelibatan publik, evaluasi independen absen, dan warga yang menolak justru dikriminalisasi, jelas merupakan sebuah bentuk pembajakan demokrasi lokal. PSN harus dipaksa kembali ke jalur yang benar, berbasis kebutuhan riil, analisis risiko, serta perlindungan terhadap warga terdampak. Jika tidak, PSN hanya menjadi kendaraan politik pusat yang mengorbankan hak rakyat dan merusak keadilan pembangunan.

*Mahasiswa Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada


Baca Lainnya