JEJAK.CO – Pada mulanya, fakta adalah seikat rasa yang diterima oleh mata. Ia murni. Dekat dengan hati. Lalu kemurnian itu diasah, diasuh, dipercantik, pun juga dirusak oleh kata-kata. Sejak saat itu, warna dan aroma fakta mulai terasa berbeda.
Fakta bisa menjadi setangkai mawar yang nestapa, juga sebilah celurit yang mempesona. Tergantung hati siapa yang menyurgainya. Dan setangkup niat, akan mempertajam warna dan aromanya.
Umpama hembusan angin, kadang ia rela terjatuh ke relung lembah, pun terpaksa bediding di puncak berantah.
Dia, si fakta yang renta, selalu tak berdaya dikorbankan siapa saja.
Di perjalanan, dengan jerat setangkup niat, fakta harus menghadapi belantara kehidupan manusia. Di situ, mata dan kata beradu. Logika dan anasir saling menggerutu. Sedangkan fakta, hanya pasrah, gigil dan terpaku.
Fakta selalu sendirian dan kesepian. Ia terus-menerus terpenjara dalam tafsir yang makin sesak, penuh teriak di keramaian.
Pasti, fakta ingin dirinya kembali murni. Dekat dengan hati, tanpa campur tangan kata, yang kadang sering mengingkari. Ia ingin Tuhan mengakhiri kisahnya sewajarnya saja. Namun, itu hanya angan semata.
Mungkin saja, fakta selalu ditakdirkan sebagai intrik yang berderik. Ia tak dilahirkan di belantara hampa, seperti muasal dari kebosanan watak manusia. Fakta harus selalu ke belantara. Tempat ego isi kepala, diam-diam ditempa menjadi Arjuna atau Karna.
Dalam pengembaraannya, fakta layaknya cinta. Ia harus berani melukai. Meski semesta tak selalu merestui.
Ganding,
31 Juli 2022