Politik Wacana Lagu Cinta Bupati Fauzi – Jejak

logo

Politik Wacana Lagu Cinta Bupati Fauzi
Oleh : Mohamad Suhaidi*

Sabtu, 30 Juli 2022 - 21:46 WIB

2 tahun yang lalu

Tangkap layar klip video lagu Mencintai Tanpa Dicintai

JEJAK.CO – Telah menjadi hukum alam : pemimpin dipuji, pemimpin dicaci (dikritik). Jangankan salah, benar pun kadang harus dianggap salah. Di mata “oposan”, nyaris tak ada sikap dan perilaku pemimpin yang benar. Bahkan harus disalahkan. Itulah kodrat para pembenci. Tapi, di mata seorang pemimpin, apapun sikap rakyatnya, tetap harus dianggap sebagai dinamika. Prinsip seorang pemimpin adalah bahwa rakyat tidak bisa diseragamkan. Ada yang puas, ada juga yang kurang puas. Sekeras apapun kiritik rakyat, pemimpin harus tetap mencintai. Selalu ada rindu di hati seorang pemimpin untuk semua rakyatnya.

Setidaknya, itulah fenomena menarik yang lagi viral dalam minggu ini. Sebuah fenomena tentang kritik atas lagu ciptaan Bupati Sumenep, Ahmad Fauzi. Lagu dengan judul Mencintai Tanpa Dicintai, ada yang menganggap keterlaluan. Ada pihak-pihak, yang bahkan menyebut bupati tidak punya sens of belonging terhadap kondisi Sumenep. Pokoknya, di mata pihak-pihak yang bermental oposan, karya lagu bupati dianggap kurang layak, kurang pas, bahkan dianggap kurang benar. Padahal, bupati juga manusia, punya kebebasan untuk berkreasi, mengeksplorasi kemampuan seninya tanpa harus dibatasi oleh jabatannya. Mencipta lagu itu, soal bakat dan kesenangan dalam berkarya. Mencipta lagu, tidak harus mengkooptasi pekerjaannya sebagai bupati.

Yang paling menarik dari kritik atas lagu ciptaan bupati itu, sebenarnya terletak pada satu argumen “dengan lagu yang diciptakannya, bupati sedang mengajak rakyatnya untuk tidak meninggalkan seni, karena seni-meminjam istilah budayawan Ibnu Hajar-harus menjadi panglima. Panglima dalam politik, panglima dalam membangun Sumenep unggul dan panglima dalam segala hal. Apabila seni yang jadi panglima, setiap dinamika sosial yang terjadi akan tetap indah, seindah keindahan yang ada dalam seni. Dalam masyarakat yang menggunakan seni sebagai panglima : hanya keindahan yang ditanamkan. Kiritikpun akan dilakukan dengan nilai-nilai seni yang indah.

Mengapa ciptaan lagu Bupati Fauzi dikritik? Jawabannya sangat sederhana, karena bupati sudah memiliki eksistensi yang kuat. Lagu yang diciptakan Bupati Fauzi, di sisi lain sebenarnya, sebagai bagian dari upaya menguatkan eksistensinya agar semakin mengakar. Dan, kritik ngeri-ngeri sedap atas karya lagu bupati adalah bukti nyata tentang eksistensi kepemimpinan Bupati Fauzi di mata-mata masyarakat Sumenep. Bagi pemimpin sejati seperti bupati, kritik apapun dari rakyatnya, sekalipun obyek yang dikritik kadang hanya dibesar-besarkan, tetap dianggap sebagai respon. Kritik atas lagu bupati, juga dapat dianggap sebagai uji coba respon publik dalam melihat posisi sosial politik bupati sebagai pemimpin publik.

Disinilah, logika keterbacaan itu bisa bekerja. Respon dan kritik itu sejatinya adalah keberhasilan politik wacana yang sedang dimainkan oleh pemiliknya. Bupati sedang menguji kekuatan eksistensinya melalui politik wacana dalam ciptaan lagunya “ Mencintai Tanpa Dicintai”. Faktanya, politik wacana ini cukup berhasil. Semakin banyak respon, banyak yang mengkritik dan banyak yang memviralkannya, pada saat itulah politik wacana itu telah cukup berhasil dimainkan. Sadar atau tidak, Bupati Fauzi telah menjadi pemain tunggal politik wacana yang sedang berkembang “viral” melalui lagu yang diciptakannya. Apalagi, ending terakhir dalam lagu itu, Bupati Fauzi menutupnya dengan kalimat “ RINDUKU SELALU UNTUKMU”. Tentu saja pesannya adalah kerinduan itu bukan hanya untuk mereka yang pro pada penulisnya, tetapi juga pada orang-orang yang getol mengkritiknya. Akhirnya, tetap tersenyum!

*Penulis Lepas, Tinggal di Sumenep


Baca Lainnya