JEJAK.CO – Kami berdua duduk bersila, sama dengan tamu lain yang datang. Pukul 18.43 WIB, seorang paruh baya, lengkap dengan kopiah putihnya, sudah asik bercerita. Dia berada tepat di samping kiri dan saya menjadi pendengar utamanya.
Sebiji kurma dan segelas kecil air zamzam, belum kami apa-apakan. Saya berpikir, hidangan kecil ini akan jadi gimmick di tengah perbincangan. Misalnya: pak haji, mari dinikmati dulu kurmanya?
Setelah basa basi, dan ternyata kami masih ada hubungan kerabat, pak haji merasa kian akrab. Sejak saat itu, ia dengan leluasa bercerita seputar pendidikan dan malingnya.
Katanya, anaknya pernah kuliah di kampus kecil. Setahun berselang, dia merasa iba. Sebab, sering sekali buah hatinya harus melawan hujan dan terik matahari. Ditambah lagi, jarak rumah dan kampusnya terbilang jauh sekali.
Sebagai ayah, dia berinisiatif untuk memindahkan anaknya ke kampus yang lebih dekat. Singkat cerita, seluruh upaya sudah dilakukan. Musyawarah keluarga dan syarat administrasi sudah disiapkan.
Tapi ternyata, sang anak masih dipingpong soal nilai mata kuliahnya. Berkali-kali, pihak kampus yang baru ditempatinya, selalu menanyakan data nilai mata kuliah dari kampusnya yang lama.
Berbulan-bulan, sang anak hanya menerima janji demi janji. Namun tak ada satupun yang terealisasi. Mungkin saja, diam-diam pihak kampus yang lama tak terima jika si anak pindah kuliah ke kampus yang lebih dekat dengan rumah bapaknya.
Akhirnya, pak haji sengaja mengajak seorang maling, yang tak lain adalah kawan akrabnya. Maling itu, juga disegani oleh seorang pihak kampus yang lama, yang kebetulan juga punya banyak ternak sapinya.
Pak haji dan kawannya bertamu, malam hari. Perwakilan pihak kampus itu menemui. Pak haji sangat ingat, bahwa, saat pihak kampus melihat kawan malingnya datang juga, dia begitu waspada. Sebab maling itu cukup terkenal di wilayahnya. Beruntung, semua permintaan dan pembicaraan berjalan baik.
Sampai akhirnya, pak haji menutup silaturrahminya dengan kalimat yang tak disangka-sangka: mun paggun ta’ kalowar nilaiya tang anak, kaula paste amain pole ka ka’dhinto Pak. Ta’ oning ja’ baja napa. (kalau nilai anak saya tidak keluar, saya pasti “bertamu” lagi ke sini, Pak. Kurang tahu pukul berapa enaknya)
Mendengar itu, saya sempat heran sekaligus terkejut. Untuk mendapatkan nilai milik anaknya, pak haji sengaja membawa kawan malingnya untuk bertamu ke rumah praktisi pendidikan. Bagi saya, cara itu di luar dugaan. Tidak seperti layaknya bertamu biasanya. Dan ternyata mempan.
Pagi hari, anak pak haji bercerita, nilainya sudah diterima. Selain lewat email, data nilai itu juga didapatnya lewat pesan WhatsApp. Anak pak haji bersyukur, akhirnya tak seribet sebelum-sebelumnya.
Dalam praktiknya, ternyata maling bisa menakut-nakuti pelaku pendidikan. Cerita pak haji, buktinya. Meskipun di kesempatan yang lain, bisa saja maling dan pelaku pendidikan bergandengan tangan. Tentu, jika ini terjadi, sangat membahayakan.
Dan benar saja, pak haji juga bercerita dugaan adanya macam-macam maling dalam pendidikan, yang katanya mencuri secara sistematis dan terstruktur. Kebetulan anaknya sudah menjadi guru. Jadi pak haji merasa sedikit tahu.
Namun agar tak jadi fitnah, dan tentu agar tidak memberatkan catatan yang sederhana ini, maka dugaan adanya maling dalam pendidikan tidak saya ceritakan. Mungkin sudah banyak yang tahu, atau sudah lumrah perilaku merugikan itu.
Biar kawan-kawan di DPRD yang meluruskan. Sebab mereka punya tugas pengawasan. Namun, jika mereka ikut terlibat dalam pencurian, siapa lagi yang bisa diharapkan? Mungkin maling kawan pak haji itu solusinya.
Ganding,
03 Agustus 2022