Kenapa Harus Beroposisi? – Jejak

logo

Kenapa Harus Beroposisi?
Oleh: Rifki Zidani*

Sabtu, 10 Agustus 2019 - 11:03 WIB

5 tahun yang lalu

gambar ilustrasi

Keputusan sidang Mahkamah Konstitusi atau MK yang selesai pada tanggal 27 Juni menjadi akhir dari lakon hajatan demokrasi elektoral tahun ini. Setelah Jokowi ditetapkan sebagai pemenang, tentunya langkah untuk persiapan kebinet selanjutnya disusun demi efektivitas estafet kepemimpinan periode selanjutnya. Di sisi lain, Prabowo Subianto dengan resmi membubarkan Koalisi Adil dan Makmur. Kemudian membebaskan partai yang tergabung dalam koalisi tersebut untuk menentukan jalannya masing-masing. Sehingga bentuk oposisi tidak lagi dalam satu payung, melainkan terpecah-pecah membentuk jalan baru sebagai alternatif politik masa depan masing-masing.

Kabar yang beredar di jagat media, hanya PKS komitmennya tetap kukuh untuk menjadi oposisi. Sedangkan sisanya, seperti Demokrat, PAN, Berkarya dan Gerindra masih dilematis dalam menentukan sepak terjangnya. Alih-alih sangat memungkinkan untuk merapat kepetahana agar mendapatkan sisa-sisa kursi jabatan dalam pemerintahan. Hal ini setidaknya mempunyai relasi dengan realitas politik pasca rekonsiliasi. Asumsi eks partai oposisi yang ingin berafiliasi untuk masuk dalam struktur pemerintahan sangat disayangkan jika terjadi. Kedekatan AHY dengan Jokowi adalah sinyal-sinyal yang penuh multi tafsir bahkan karpet merah dari Megawati untuk Prabowo adalah pertanda lampu hijau untuk ada dalam struktural kabinet Indonesia yang baru. Sayang, sepertinya mereka harus melepaskan keoposisianya hanya karena afiliasi jabatan.

Bermusuhan diawal bersahabat dikemudian dan rakyat heboh tak karuan. Seolah-olah tidak ada lawan atau kawan, yang ada hanya kepentingan abadi. Sangat miris jika budaya kompromitas seperti itu masih mengalir dalam darah politisi negara Indonesia ini. Lalu yang menjadi pertanyaan mendasar, apa pentingnya menjadi oposisi? Bukannya oposisi hanya sebatas label bagi penantang saat kontestasi bergulir? Mungkin bagi partisan masyarakat politik memang seperti itu. Tetapi Eep Saefullah mendefinisikan oposisi adalah interaksi atau kegiatan pengawasan politik yang bisa saja keliru dan benar. Ketika kekuasaan disalahgunakan (abuse of power), oposisi harus menginformasikan kepada rakyat sekaligus melancarkan kritik serta perlawanan akan perihal tersebut. Sebaliknya ketika kekuasaan berfungsi dengan benar, pihak oposisi menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi politik untuk menata kelanjutan dan resistensi dari praktik kebenaran itu.(membangun oposisi,1999:xxi-xiii) dengan demikian, oposisi menjadi pertaruhan yang wajib menang. Apapun resikonya, setidaknya ia berkibar dan bergerak. Sebab ia adalah sparing partner kekuasaan yang paling baik yang berdampak check and balance sebagai kontrol pemerintah.

Di Indonesia, sebagai negara demokrasi sayangnya tidak ada pelembagaan oposisi secara formal dan struktural yang diatur dalam sistem ketatanegaraan serta Undang-Undang Dasar (UUD 45). Ini menjadi titik lemah berkembangnya pihak oposisi, sehingga hanya menciptakan oposisi musiman dan partisan. Pelembagaan oposisi sebenarnya sangat efektif jika ditinjau dari sisi gerakan kritis dan transformatif. Gerakan tersebut banyak dilakukan di negara-negara barat denga reputasi yang memuaskan untuk alternatif pengawal kebijakan.
Norman Blues mencatat dengan baik salah satu gerakan oposisi Sades ( associacao Para o Deservolviminto Ecomomico a Social) yang terdiri dari para buruh dan kaum proletar profesional muda. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah otoriter Portugal di bawah pimpinan rezim Marcelo Caetano (1968-1974) dengan membentuk partai semioposisi. Tidak hanya kritikan yang dilakukan mereka sebagai gerakan mendasar untuk pengawalan program rezim. Tindakan membantu semisal di bidang kesehatan, tranportasi dan sebagainya dilakukan oleh Sades dalam mengurangi beban kesulitan pembangunan. Dari itulah oposisi yang loyal akan terbentuk secara kuat, sistematik dan teragenda, keberadaanya tidak hanya to oppuse tapi juga to support. Oleh sebab itu, gagasan serupa juga pernah disampaikan Nurcholis Masjid, perlunya melembagakan dalam UUD 1945. Dengan maksud oposisi dapat mengukuhkan posisinya, sekaligus menempatkannya dalam kedudukan yang “terhormat”.

Sebagai negara yang sudah cukup lama dalam berdemokrasi, sangat memprihatikan jika partai yang tergabung dalam koalisi Adil dan Makmur (KAM) rata-rata harus bertindak memihak pada kebinet yang baru, apalagi Gerindra yang selama 4 tahun teguh menjadi oposisi akan lumer saat menelan kekalahan dan melempem saat ditawari kekuasaan, begitupun partai lainnya. Justru tindakan yang diambil PKS menjadi nilai positif meskipun pada pemilihan tahun ini presentase suara sangat drastis didapatkan. Hal tersebut adalah salah satu signifikansi dalam membangun simpati masyarakat untuk integritas partai yang lebih dipercaya. Hasilnya kemungkinan akan menjadi power untuk meraih kemenangan dalam kontestasi politik selanjutnya. Meskipun niatan atau tujuan menjadi oposisi tidak serta-merta berhenti untuk kemenangan partai belaka. Tetapi agar menjadi penyambung aspirasi bagi masyarakat sekaligus kritik terhadap program yang tidak mempunyai dampak yang efektif untuk kemaslahatan dan keadilan bagi bangsa ini.

Dalam konteks menjadi oposisi bagi lingkaran pemerintah, sebenarnya tidak hanya dapat dilakukan partai politik atau Parpol. Kekuatan yang digantungkan pada mahasiswa, intelektual, LSM dan Pers sebagai oposisi eks parlementer yang lazim disebut pressure grup adalah bagian di dalamnya. Oleh sebab itu, jika konspirasi antara pressure group dan partai sangat memungkinkan dalam ranah membangun kantong-kantong oposisi dalam masyarakat. Karena terkadang kebijakan pemerintah hanya menguntungkan dan berkutik di lingkaran para jabatan. Maka dari itu terbentur, terbentur, terbentur lalu terbentuk adalah narasi yang baik untuk menjadi oposisi yang bijak.

*Penulis adalah mahasisiwa UIN Sunan Kalijaga prodi Hukum Tata Negara. Aktif di Komunitas Kutub, Sewon Bantul, kordinator Youth Movement Istitute Yogyakarta, dan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)


Baca Lainnya