Budaya Politik Santri: Membaca Visi Paslon Pilkada Sumenep – Jejak

logo

Budaya Politik Santri: Membaca Visi Paslon Pilkada Sumenep
Oleh : Wilda Rasaili*

Minggu, 29 September 2024 - 17:25 WIB

4 bulan yang lalu

Wilda Rasaili, Dosen Politik dan Kebijakan Universitas Wiraraja (Foto/ist.)

JEJAK.CO – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan selalu menarik apabila memunculkan pertukaran ide dan gagasan yang selalu diperjuangkan untuk Sumenep lebih baik. Kenapa muncul kandidiasi karena mereka membawa visi-misi yang berbeda yang ditawarkan ke publik untuk bisa diterima dan mendapatkan dukungan publik. Gagasan politik mencermikan kehidupan masa depan masyarakat dan Kabupaten Sumenep yang lebih baik. Jika politik ide dan gagasan kosong, maka politik cendrung pragmatis dan transaksional.

Paslon FINAL (Fikri-Unais) dan FAHAM (Fauzi-Imam) pastinya sudah membawa visi-misi sebagai pra-sayarat pendaftaran di KPU. Keduanya juga membawa gagasan yang tak tersurat untuk melanjutkan program Sumenep yang belum tuntas (FAHAM) atau melakukan perubahan untuk mewujudkan kediadilan dan kemakmuran (FINAL). Namun problemnya menjalang dua bulan sebelum pemilihan, dialektika ide dan gagasan tidak begitu kuat menjadi perbincangan publik. Pada 24 September 2024 Radar Madura menggelar debat calon pendukung paslon yang sama-sama diwakili oleh tiga pendukungnya. Terdekat pada 30 September 2024 STAINAS (Sekolah Tinggi Agama Islam Nasatul Muta’allilmin) akan melakukan kuliah umum Bersama Cabup FINAL dan Cabup FAHAM. Di luar yang tersebar, hiruk pikuk perbincangan yang bisa diakses oleh publik masih belum tampak ke permukan.

Forum formal sebagai tontonan ide dan gagasan paslon bisa diakses oleh publik dan dianalisis rasionalitasnya serta urgensinya terhadap masalah publik. Di luar forum publik tentu banyak perbicangan di rawung-warung kopi. Diskusi kecil menjelang pilkada pastinya padat sekali, namun topik perbincangan acapkali bukan ide dan gagasan tetapi strategi dan peluang kemengangan. Bahkan tak jarang dalam diskusi warung kopi juga lemah apresiasi pada pergelaran forum publik yang sejatinya menjelaskan konsep pembangunan karena tidak berdampak signifikan pada pilihan politik masyarakat. Tentu ini menggambarkan terjadinya pergeseran dialektikan ide dan gagasan paslon untuk Sumenep masa depan.

Krisis pertukaran ide dan gagasan amatan saya karena tiga hal. Pertama, paslon sebetulnya tidak membawakan konseptualisasi pembangunan untuk Sumenep di masa yang akan datang. Mereka hanya berupaya ingin melanggengkan kekuasan atau merebut kekuasaan karena dianggap sudah tidak selaras dengan kepentinganya. kepentinganya tidak tervisualisasi dengan sangat jelas untuk membawa kemajuan Sumenep. Petahana untuk kelanggengan kekusaan, penantang untuk merebut kekuasaan. Kedua, problem publik yang tidak lagi menarik untuk mendengarkan dan memperbincangan gagasan paslon. Bagi mereka apapun gagasannya realitas dan implementasinya jauh panggang dari api. Olehnya masyarakat lebih bergeser pada relasi calon dan yang lebih parah mobilitas tim baik transaksi maupun intimedasi. Apapun gagasanya tidak bisa dicerna dengan baik melebihi relasi dan transksi. Ketiga ada kelompok yang cukup cerdas membaca kelangsungan pilkada. Sebelum pemilihan kelompok ini sudah bisa menentukan mana yang menang dan mana yang akan dilantik. Tentu ini membuyarkan politik ide dan gagasan. Kecakapan calon menyampaikan ide dan gagasan baginya hanya tontonan panggung depan yang tak berimplikasi pada pemenangan karena yang menang sudah ditentukan hanya SK belum keluar.

Pilkada bukan semata kekuasan

Semua kandidat berupaya merebut kekuasaan, namun sejatinya yang diperjuangkan adalah implementasi gagasan. Politik yang hanya mengadopsi kerja-kerja-kerja akan potensi hanya melayani kepentingan oligarki. Kemandirian dalam politik dan kekuasaan karena memiliki sejumlah konsep dan gagasan brilian untuk menjadi landasan kerja membangun Sumenep lebih baik. Kekuasaan adalah instrument, politik adalah strategi dan gagasan adalah impian .

Budaya politik sepertinya perlu kembali diperkuat di Sumenep. Gabriel Almond mengatakan budaya politik adalah sikap orientasi yang khas suatu warga untuk system politik dan kehidupan politik dimasa yang akan datang. Sumenep mayoritas warga santri. Santri adalah mengaji lalu takzim. Sebelum tunduk patuh pada pilihan politik perlu intensitas mengaji terhadap ide-ide paslon, track recoard paslon, serta strategi pembangunan paslon agar pilihan politiknya lebih membawa hikmah dan barokah (kemanfaatan bukan pragmatias). Budaya politik santri yaitu orientasi pada sufisme politik. Politik yang menuntun pada kemanfaatan universal (rakyat) bukan sesaat.

Semarak mengaji ide dan gagasan paslon akan mencermikan bahwa pilkada Sumenep bukan hanya pertarungan kekuasan, tetapi pertarungan masa depan yang diinisiasi oleh semangat memperdalam visi provetik paslon. Perdebatan tidak hanya digelar di kampus-kampus dan forum formal lainnya tetapi acapkali kenjungan kepada masyarakat yang dia sampikan adalah ide dan gagasan. Kampanye bukan hanya membagi sembako dan mengenalkan wibawa dan karisma calon tetapi seuntai kalimat harapan dan mimpi masa depan cemerlang yang dapat meyakinkan masyarakat untuk memilihnya. Kampanye menawarkan strategi membangun keadilan, kesejahteraan, kemakmuran warga Sumenep, bukan semata strategi pemenangan Pilkada.

*Dosen Politik dan Kebijakan Universitas Wiraraja


Baca Lainnya