Wabah Dinasti Politk dan Upaya Sehat Menuju Pilkada Serentak – Jejak

logo

Wabah Dinasti Politk dan Upaya Sehat Menuju Pilkada Serentak
Oleh: R. Zidani*

Rabu, 11 Maret 2020 - 14:09 WIB

5 tahun yang lalu

Gambar ilustrasi (ist)

Menjelang akhir tahun nanti, tepatnya pada tanggal 23 September 2020, pesta demokrasi akan kembali dihelat untuk beberapa daerah di Indonesia. Setiap masyarakat di daerahnya mendapatkan kesempatan menentukan pemimpinnya, entah itu gubernur, wali kota atau bupati. Dalam hal ini, tercatat ada 270 daerah yang akan menggelar pemilihan serentak dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Meskipun seharusnya hanya ada 269, satu tambahan lainya disebabkan Pilkada Kota Makassar yang diulang pelaksanaannya.

Dalam hal ini, adanya pilkada serentak dapat memberikan dorangan terhadap masyarakat agar lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik. Tapi, pada dasarnya tidak ada sistem yang benar-benar menjamin integritas dalam politik tidak tercemari. Meskipun hasil dari pemiilhan tersebut menentukan masa depan pengelolaan daerah, tetapi di satu sisi, agenda pemilihan masih saja menjadi kesempatan untuk oligarki daerah mempertahankan stabilitas kekuasaannya dengan menempuh segala cara yang ada.

Sehinggah, pilkada serentak hanyalah sistem pemilihan yang dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Tidak berarti ia bisa menjamin hilangnya kebiasaan politik yang cenderung berkepentingan pada hal yang pragmatis. Kampanye hitam atau politik uang dalam sebuah ritus pemilihan tetap saja menjadi modal dan kekuatan utama yang diagung-agungkan oleh kebanyakan elite. Selain itu, sejak pasca reformasi, daerah menjadi lumbung berkembangnya dinasti politik: sebuah sistem yang menggandeng para elite untuk memuluskan kepentingan ekonomi-politik yang dimonopoli oleh sekelompok keluarga tertentu.

Pada dasarnya dinasti politik merupakan sistem politik yang mengutamakan ikatan genealogis atau kekerabatan. Sebuah kekuasaan dijalankan oleh orang-orang yang masih mempunyai ikatan keluarga. Hal tersebut merupakan gejala dari patrimonialistik lama yang menjadikan regenerasi politik dilanjutkan oleh sosok yang mempunyai ikatan darah ketimbang potensi dan integritas dari seorang pemimpin itu sendiri.

Akan tetapi, jika dinasti politik dikontekskan dengan negara demokrasi, tentunya hal ini merupakan paradoks. Karena aturan mendasar dalam negara demokrasi adalah semuanya mendapatkan hak setara. Tidak ada individu atau kelompok yang mendapatkan perlakuan khusus atau diunggulkan untuk menjadi seorang pemimpin misalnya. Maka dari itu, dinasti politik mencari strategi baru untuk tetap eksis mempertahankan dominasi otoritasnya.

Semestinya, dinasti politik akan sedikit kesulitan untuk berkembang di dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Tetapi fenomena tersebut tetap saja menjamur pada sistem apapun. Jika zaman dulu, dinasti politik mempunyai ketergantungan besar pada status keningratan atau kebangsawanan. Tapi hari ini, dalam arena demokrasi, mereka seolah-olah melewati jalur prosedural yang diatur dalam sebuah regulasi pemilihan. Hal ini dapat kita lihat saat ada anak atau keluarga seorang elite politik yang berbondong-bondonga bergelut di dunia partai. Dalam hal ini, partai politik menjadi kendaraan untuk mengukuhkan dinasti politik itu sendiri. Sehinggah pada akhirnya, kekuasaan yang mereka dapatkan menjadi pintu maraknya korupsi, pemamfaatan sumber daya alam, dan juga penyalagunaan APBD dan APBN untuk kepentingan kelompok dinasti politik bukan proyeksi kepentingan masyarakat.

Selaras dengan penjelasan di atas, Pablo Querbion dari Harvard Academy for International and Areas Studies menjelaskan bahwa politik dinasti merupakan bentuk penguasaan elite yang lama ketika satu atau beberapa keluarga memonopoli kekuasaan politik. Ia mengambil contoh negara Filipina sebagai negara demokrasi yang terpapar fenomena dinasti politik. Hal ini berawal dari lemahnya kebijakan pembatasan jabatan dan kebarlangsungan petahana yang menggunakan segala cara dalam memenangkan kontestasi politik. Sehingga, ia berdalih hal tersebut memberikan efek menguatnya dinasti politik dalam suatu negara demokrasi. Tidak hanya di Filipina, contoh nyata permasalahan dinasti politik di Indonesia terjadi di daerah dengan gejala yang sama, seperti halnya kabupaten Kediri, Kendal, Kutai Kartanegara dan beberapa daerah lainya. Bahkan di Provinsi Banten jajaran eskutor politik diambil dari keluarganya. Hal tersebut semakin memberikan kesempatan dinasti politik untuk tetap mendominasi otoritas dearah.

Akibat dari mahalnya ongkos dari dinasti politik, meyebabkan maraknya personalisasi politik. Salah satu tindakannya tertuju pada pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan rasionalitas dan kepentingan masyarakat. Melainkan didasarkan pada keputusan individual aktor dinasti yang berkuasa( Hedman & Sidel: 2000). Hukum diciptakan untuk melanggengkan proyeksi ekonomi-politik yang berafiliasi pada kepentingan pribadi. Sebagaimana penjelasan Paul Hutchroft(1998), membuktikan bahwa dinasti politik telah meningkatkan rent-seek dan state capture dengan memberikan alokasi sumber daya negara hanya pada orang yang dekat dengan kekuasaan dinasti.

Dalam prespektif Ibnu Khaldun, dinasti politik pada dasarnya merupakan gejalah alamiah seorang penguasa. Namun pendapatnya bukanlah sebuah afirmasi untuk memuluskan dinasti politik itu sendiri. Dalam bukunya The Muqaddimah an Introduction to History, ia mengingatkan bahwa dinasti politik atau dalam istilahnya politik ashabiyah dapat mengakibatkan kehancuran suatu negara karena kebijakan-kebijakan yang dilakukan hanya mempunyai tendensi pada kerabatnya saja.

Menuju pilkada serentak nanti, seharusnya budaya dinasti politik dapat diminimalisir. Selain bertentangan dengan asas-asas demokrasi, hal tersebut hanya meyebabkan potensi pengelolaan daerah tidak stabil. Budaya koruptif akan menggurita. Dinasti politik akan menjadi faktor utama penghalang berkembangnya demokrasi kita yang terlalu prosedural menuju yang lebih subtantif.

Proses pencegahan harus dilakukan agar pilkada atau sejenis pemilihan lainya tidak hanya menjadi acara seremonial yang melahirkan dinasti politik baru dan melanggengkan yang lama. Pencegahan ini bisa dimulai dari partai politik yang melakukan seleksi pencalonan dengan megedepankan integritas atau potensi. Supaya kaderisasi partai politik tidak macet pada keluarga atau kelompok tertentu yang hanya mengandalkan faktor popularitas dan tebalnya finansial.

Selain itu, masyarakat harus mendapatkan pendidikan politik dari civil society untuk dapat memilih pemimpin yang benar-benar mempertaruhkan integritas dari pada figur semata. Tentunya, media mempunyai peran yang sangat signifikan dalam hal ini untuk mengedukasi masyarakat mengenai pendidikan politik, tidak malah memperkeruh keadaan dengan menjadi media propoganda untuk memberikan dukungan pada calon tertentu.

Oleh sebab itu, dinasti politik menjadi fenomena yang tidak boleh diabaikan. Seperti apa yang dikatan Bertrand Russell “power is sweet, it is drug, the disire which increase with a habit”. Saat orang atau kelompok menjadikan kekuasaan sebagai kepentingan semata, ia akan menjadi hal yang berorentasi destruktif. Dalam dinasti politik, tidak ada yang benar-benar nyata selain kekuasaan itu sendiri. Sejarah membuktikan, bahwa kekuasaan yang berlebihan menjadi musabab tragedi ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat.


* Rifki Zidani adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Baca Lainnya