JEJAK.CO-Perubahan Undang Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dinilai tidak efektif. Terbukti, sejak terbit undang-undang yang baru, pernikahan anak di bawah umur justru semakin meningkat.
Dalam undang-undang yang baru, Nomor 16 Tahun 2019 dijelaskan, bahwa batas usia minimal untuk wanita yang hendak menempuh jenjang pernikahan, yang awalnya minimal 16 tahun, kini naik menjadi sama dengan batas minimal usia pria, yaitu harus 19 tahun.
Perubahan UU No 1 Tahun 1974 menjadi UU No 16 tahun 2019 ditetapkan pada tanggal 15 Oktober 2019. Sejak itu, data angka permohonan dispensasi kawin (Diska) di Sumenep semakin meningkat. Tidak hanya itu, pengajuan perceraian Diska justru semakin melonjak.
Hal itu disampaikan oleh Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama (PA) Sumenep, Rahayuningrum, SH. “Dengan adanya perubahan itu, ternyata mengakibatkan melonjaknya penerimaan perkara Diska ke Pengadilan Agama,” utara Rahayu, biasa disapa, kepada Jejak.co, Kamis (12/12/2019), ditemui di ruangannya.
Diungkapkan, sepuluh bulan sebelumnya, mulai Januari sampai Oktober 2019, angka permohonan perkara Diska yang masuk ke Pengadilan Agama Sumenep masih stabil, “tiga empat, tiga empat,” sebut Rahayu.
“Jadi, (perkara, red.) Diska yang diterima itu cuma 33. Kalau kita hitung per rata-rata dalam sepuluh bulan itu, perbulannya anggaplah 3 atau 4. Tapi dengan turunnya UU No 15 Tahun 2019 tentang usia minimal nikah, ternyata Diska 2 bulan ini melonjak,” rinci Rahayu menjelaskan.
Permohonan perkara Diska sejak November hingga minggu kedua Desember 2019 mencqpai 33 perkara. “November itu 18, Desember (tanggal 12, red) ada 15,” sebut mantan Panitera Pengganti PA Sumenep pada 2001 lalu itu.
Selanjutnya ia mengutarakan, bahwa melonjaknya perkara Diska sejak ditetapkannya undang-undang baru tersebut bukan hanya terjadi di Kantor Pengadilan Agama (KPA) Sumenep saja. Hal ini katanya juga terjadi di KPA lain.
“Dimana-mana, bukan hanya di PA Sumenep. Teman-teman dari PA lain itu kemarin ngirim: setelah terbitnya UU No 15 Tahun 2019, gimana ini, kok Diska melonjak, ya,” ujarnya menirukan kalimat temannya di KPA lain.
Sekadar untuk diketahui, Diska adalah singkatan dari dispensasi kawin. Dalam pengertian luasnya, Diska dapat diartikan dengan permohonan yang diajukan dimana seseorang akan melakukan pernikahan, tapi usianya terbentur oleh aturan undang-undang.
Rahayu menjelaskan, mayoritas pemohon perkara perceraian Diska berasal dari pelosok desa. Ia berasumsi, bahwa pemahaman tentang hukum sebagian banyak masyarakat desa pedalaman yang masih minim. Sehingga pernikahan dini di kalangan masyarakat desa kerap kali terjadi.
“Mungkin, ya. Orang pelosok desa tertentu banyak yang beranggapan, kalau nggak nikah-nikah, kan nanti itu dianggap nggak ‘paju lakè’, nggak ‘paju binè’, ‘sangkal’ (sulit dapat jodoh, red), ya kan,” tuturnya dengan nada tanya.
Lebih lanjut Rahayu mencontohkan bahwa kemarin dirinya sempat menangani sidang kasus Diska antara calon suami dan calon istri yang sama-sama belum cukup umur.
“Kemarin itu, sama-sama calon suami dan calon istri. Karena dua orangtua, berarti harus dua perkara. Jadi sama-sama diputus kemarin, satu minggu baru bisa melangsungkan pernikahan. Nggak bisa, sudah dipenggal, sudah diarahkan gini-gini, dikasi nasihat. Sudah sabar, ndak mau,” tuturnya menceritakan.
Jadi, menurutnya, banyaknya permohonan Diska, berarti menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk menekan angka pernikahan di bawah umur, membentuk kesadaran masyarakat bahwa pernikahan itu harus berusia 19 tahun karena alasan kematangan organ-organ tubuh anak ternyata tidak berpengaruh.
“Ya, bukan. Saya pikir bukan merupakan solusi, ya. Kok ada undang-undang bahwa usia pernikahan naik, tapi di sisi lain, di Pengadilan Agama, ada perkara Diska yang dimana salah satu solusi melakukan pernikahan secara resmi, yang mana calon pengantin laki-laki dan perempuan masih di bawah umur,” ujar Rahayu.
“Ini masih belum tutup, masih Jumat depan tutup penerimaan perkara untuk tahun 2019, tanggal 13 Desember 2019, Hari Jumat ini,” imbuhnya mengakhiri keterangan.
Penulis : Mazdon
Editor : Ahmad Ainol Horri