Tai Kucing Rasa Cokelat – Jejak

logo

Tai Kucing Rasa Cokelat
Oleh : A Dardiri Zubairi

Jumat, 25 Januari 2019 - 12:59 WIB

6 tahun yang lalu

Jejak.co – Coba Anda tempel mata Anda ke obyek yang Anda lihat, misal tembok. Bisakah Anda jelas melihat tembok? Tidak bukan? Karena tembok yang ingin Anda lihat justru menjadi penghalang Anda melihatnya. Jangankan obyek lain, tembok saja tak bisa Anda lihat.

Itulah ilustrasi untuk melukiskan para pendukung paslon presiden saat ini. Karena begitu dekatnya, ia tak mampu melihat calon yang dipilih dengan jernih. Preferensinya dibangun berdasar emosi. Berdasar argumentasi yang dicopot sana-sini, termasuk dalil agama yang hakikatnya suci. Atau melalui sebaran meme yang informasinya sudah disensor, dipotong, diblur, sehingga informasi tak sepenuhnya bisa bening. Yang sadis, sebaran hoax, fitnah, adu domba seolah menjadi agama baru yang dirayakan dan dibenarkan.

Calon sendiri dipuja bak Malaikat. Calon lawan dihujat bak syetan. Dalam situasi yang seperti ini, polarisasi rakyat Indonesia tak bisa dielakkan. Mereka terbelah. Hitam-putih. Saya kadang heran, kok mau ya kita hidup dalam ketegangan terus-menerus? Berantem terus? Bukankah jika Anda tegang terus, kehidupan kita tidak sehat? Gimana bisa sehat, wong adrenalin kita dipacu terus dan setiap menghela nafas disertai detak jantung yang tak beraturan?

Nah, sebaiknya mata kita yang kita tempel di tembok, kita tarik. Atur jarak agar kita bisa melihat tembok, dan melihat konteks dimana tembok itu berada. Bukankah di samping kiri-kanan ada pemandangan yang juga bisa kota saksikan?

Dengan bahasa gamblang, dukung ya dukung. Tapi dengan catatan, dengan kritik. Kalau pun mau berdiskusi dan berdebat dengan lawan ya berdasar argumentasi kuat, fakta dan data kuat, bahasa santun, dan jauh dari kebencian.

Jangan sampai terjadi kata mendiang penyanyi nyentrik dulu, Gombloh, KALAU CINTA MELEKAT, TAI KUCING TERASA COKLAT. Pliss…jangan.


Baca Lainnya