Jejak.co-Karena Peraturan Bupati (Perbub) Nomor 27 Tahun 2019 tentang Scoring Pendaftaran Calon Kepala Desa dianggap mencekal, 25 bakal calon kepala desa (Bacakades) dari 11 kecamatan datangi Kantor Pemerintah Kabupaten Sumenep, Senin (19/8/2019).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Madura, Kurniadi mewakili Bacakades dalam forum memaparkan, syarat scoring dalam Perbub Pilkades 2019 dinilai telah meresahkan dan mengadu domba masyarakat.
Sebab, demi menghadapi pilkades, seluruh bacakades telah melakukan banyak persiapan, termasuk konsolidasi jauh-jauh hari sebelumnya dimana hal itu tentu menghabiskan dana jutaan rupiah. Namun akibat adanya aturan scoring, banyak bacakades yang terancam gagal karena nilainya kalah dengan calon lain.
Dirinya mempertanyakan sistem skor. Sebab pemilihan presiden, gubernur hingga bupati tidak ada skornya. Menurutnya regulasi tentang skor tidak komprehensif. Ia menduga semua itu by design.
Kurniadi berharap ada prinsip keadilan dalam peraturan penskoran dimana hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak calon petahana (incumbent), yaitu dengan cara mendatangkan bacakades dari luar daerah dengan kuantitas skor yang memungkinkan untuk lolos sebagai cakades yang memenuhi syarat.
Strategi mendatangkan bacakades dari luar daerah diduga untuk mencegal lawan politik yang tidak memenuhi skor minimal karena persyaratan tingkat pendidikan atau tidak pernah menjabat di pemerintahan. Padahal tidak menutup kemungkinan dia memiliki banyak pengalaman di bidang organisasi lain.
Bacakades Muzakkir asal Rubaru meminta tiga permintaan agar ditanggapi serius oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep.
Pertama, dengan menggunakan pernyataan ironi bahwa kepala desa itu warisan ataukah pilihan. Kedua, dia memohon sekaligus menanyakan kesanggupan pihak DPMD Sumenep agar mencabut perbub mengenai scoring karena dianggap telah mengadu domba masyarakat.
Yang ketiga adalah perihal tingkat pendidikan. Menurutnya, kalau masalahnya adalah khawatir terjadi korupsi karena tingkat sekolah, Muzakkir menyampaikan pernyataan bahwa pada kenyataannya, mereka yang melakukan korupsi adalah mereka yang sekolahnya setingkat sarjana strata satu ke atas.
“Yang sekolah SD, SMP, SMA, adakah yang korupsi, Pak? Bahwa rata-rata koruptor selama ini adalah mereka yang sekolahnya S1 ke atas, Pak,” katanya.
Menanggapi beberapa pernyataan dan pertanyaan tersebut, Kepala Dinas Permberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Sumenep, Moh Ramli menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Sumenep sangat terbuka dengan masukan dan saran dari seluruh pihak. Akan tetapi, perihal aturan pilkades ini adalah hak prioritas semua pihak, bukan hanya tanggungjawab DPMD Kabupaten Sumenep tetapi menjadi tanggungjawab bersama, termasuk di dalamnya seluruh tim perumus perundang-undangan yang berkompeten dalam hal tersebut.
Bahwa undang-undang tersebut dirancang tidak sembarangan, sudah sesuai dasar perundang-undangan yang telah ada dan sesuai kesepakatan berbagai pihak, yaitu mulai dari kementerian, pemerintah provinsi, kabupaten, dan legislatif yang wajib dipatuhi oleh seluruh warga Indonesia. Akan tetapi, peraturan tersebut masih bisa diupayakan untuk dilakukan perubahan.
Ia menambahkan bahwa scoring itu terjadi hanya kalau jumlah bacakades yang mencalonkan diri sebagai cakades melebihi kuota yang tersedia, minimal 2 orang dan maksimal 5 orang.
“Jadi, siapa pun boleh nyalon, Pak. Jangan takut, belum tentu mereka yang punya skor tinggi, malah tidak memenuhi syarat. Bisa saja mereka yang jenengan takuti, ijazahnya tak teregalisir, terkena kasus kelakuan baik, atau BNK-nya terkena kasus narkoba. Itu kan mesti akan dicentang sama panitia,” terangnya.
Disampaikan bahwa siapa pun, di mana pun, dan kemana pun boleh nyalon. Bahwa jangankan bupati, menteri pun tidak bisa melarang hal itu. Moh Ramli berharap bacakades tidak kecil hati hanya lantaran ada peraturan scoring. “Sama tidak menutup kemungkinan, siapa yang bakal terpilih memenuhi syarat. Maka mendaftarlah dulu, jangan berkecil hati sebelum melangkah,” imbuhnya.
Selain itu juga telah disampaikan bahwa pengaduan ini akan diangkat nanti ke bupati untuk kemudian dimusyawarahkan dengan tim. Keputusan akhir, lanjutnya, berada di tim. Kalau menurut tim nanti bisa diubah, ya akan diubah. Kalau tim mengatakan tetap, berarti tidak perlu diubah.
Demikian, jawaban yang disampaikan oleh Moh Ramli dinilai tidak memuaskan. Perbincangan terus semakin hangat. Semua audiens tetap ngotot agar Perbub Nomor 27 Tahun 2019 segera diubah atau dicabut sama sekali.
Menanggapi hal itu, Moh Ramli lalu menyampaikan bahwa undang-undang itu bukanlah kitab suci Alquran. “Jadi, bisa diubah,” lanjutnya menjawab pertanyaan bacakades.
“Tapi, perihal bagaimana dan kapan, itu yang tidak bisa saya pastikan. Karena ini adalah produk tim, bukan saya sendirian. Yang jelas butuh waktu,” pungkasnya.
Dengan jawaban itu, audiens tetap merasa tidak puas dan menanyakan kepastian agar musyawarah pencabutan perbub segera dilaksanakan oleh tim. Beberapa Bacakades mengancam akan melakukan audiensi besar-besaran dimana masing-masing bacakades akan membawa personel sepuluh truk.
Keadaan mulai dingin ketika Kepala Sub Bagian Hukum Pemkab, Hosni meminta agar jika audiens belum puas dengan jawaban terpapar, sebaiknya dilanjutkan Selasa besok, (20/8/2019).
Tidak selesai di situ, audiens berjanji akan mengambil jalan damai seluruh pihak yang bertanggungjawab terhadap regulasi scoring ini besok dapat duduk bersama demi segera memperoleh kemufakatan bersama. (don/yon)