Jejak.co – Hiruk-pikuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) di kalangan pegiat demokrasi sudah lama diperbincangkan. Nyaris setiap hari, mulai dari aktivis, politisi, birokrasi selalu tidak lepas dari perbincangan bakal calon bupati dan wakil bupati.
Yang selalu dijumpai, diskursus kandidat yang dinilai punya kans menang dalam perhelatan perebutan kekuasaan di tingkat kabupaten. Mereka yang memiliki keinginan menjadi pemimpin Sumenep seakan sudah tuntas dibahas mulai dari latar belakang pendidikan, nasab hingga harta yang dimilikinya.
Seperti Pilkada Sumenep yang akan digelar 23 September 2020. Sejak akhir 2019 lalu, sejumlah figur sudah sibuk mengurus pendaftaran ke sejumlah partai politik (Parpol). Mereka semua berlomba-lomba untuk mendapat rekom dari parpol agar bisa bisa maju di pilkada yang tak lama lagi akan digelar.
Tidak hanya itu, sejumlah kandidat juga sudah menyampaikan janji politik. Semua seolah akan menjadi pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat apabila ditakdir memenangkan pada pemilu yang akan datang.
Lalu bagaimana dengan masyarakat di bawah, apakah mereka sudah tahu siapa saja yang akan maju dan dari mana asal mereka?
Setelah tim jejak.co menemui salah satu warga yang tinggal jauh dari hingar- bingar masyarakat kota, ternyata isu pilkada belum sepenuhnya menjadi konsumsi publik. Bahkan akronim ‘pilkada’ asing di telinga mereka.
Jumat, pria asal Desa Grujugan, yang setiap harinya sibuk mengurus pekerjaannya sebagai salah satu nelayan di Kecamatan Gapura mengaku tidak banyak tahu soal pilkada. Pria yang juga berprofesi sebagai petani itu bahkan tidak tahu siapa saja bakal calon yang akan maju pada pesta demokrasi tingkat kabupaten itu.
Bahkan ia tidak peduli siapa yang akan maju dan dari mana saja parpol pengusungnya. Alasannya sangat sederhana, pemilu itu urusan orang yang punya ijazah atau kalangan terdidik.
“Tidak tahu mas. Pemilihan bupati ini bukan urusan orang seperti saya. Urusannya orang yang sekolah. Kalau saya itu yang penting punya rizki yang bisa dimakan setiap hari,” ungkapnya.
Ia memiliki pandangan bahwa rakyat bisa makan kalau bekerja. Pilkada seolah tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat termasuk nelayan. Pemikiran yang seolah apolitik itu bukan tanpa alasan. Semua itu dilatarbelakangi kesejahteraan rakyat yang tak kunjung meningkat meski pemimpinnya berubah.
Menurutnya, setiap ada pemilihan, rakyat hanya memilih. Setelah itu tidak ada dampak yang nyata terutama dalam masalah kesejahteraan. Selama ini yang dirasa ada perubahan hanya pada masalah infrstruktur. Seperti pembangunan jalan, paving dan lainnya. Sementara urusan hajat hidup rakyat di bawah masih belum tampak.
Pernyataan sikap seperti itu bukan berarti dirinya tidak akan memilih calon yang ada. Setiap lima tahun, mulai dari momen pileg, pilpres, pilgub, pilbup hingga pilkades ia mengaku selalu menggunakan haknya sebagai pemilih.
Semua itu dia lakukan semata demi menunaikan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia, dengan harapan ada perubahan berarti terutama pada nelayan dan petani.
Penulis : Mazdon
Editor : Haryono