PAK HABIBIE BAGI ORANG KAMPUNG – Jejak

logo

PAK HABIBIE BAGI ORANG KAMPUNG
Cerita dari masa kecil A'yat Khalili*

Sabtu, 14 September 2019 - 08:44 WIB

5 tahun yang lalu

gambar: ist

Sewaktu kecil aku sering dibilangin sama bapak dan guru-guru sekolah dasarku, “Nak, belajarlah kamu dengan rajin. Agar cerdas seperti Pak Habibie.” Saat itu usiaku sekitar 6-8 tahun. Tentu saja, aku tidak tahu seperti siapa Pak Habibie, kenapa sosoknya begitu mulia di hati setiap orang. Dan kenapa namanya selalu disebut-sebut. Kenapa kecerdasannya bisa membuat hampir semua orang di kampungku kagum dan selalu dijadikan contoh bagi anak sepertiku.

Padahal waktu itu, belum ada internet, belum ada smartphone, belum ada android, karena memang belum era digitalisasi. Tetapi, keharuman nama Pak Habibie seperti melekat di setiap lidah. Dari mana mereka tahu, padahal belum ada Instagram, belum ada Twitter, belum ada Facebook yang men-viral-kan sebagaimana era sekarang setiap manusia dikenal karena ditopang dan disorot media yang menyebarkan dan mempromosikannya. Walau tanpa viralisasi, mereka bisa mengetahui sosok terbaik bangsa ini untuk dijadikan contoh kepada anak-anaknya.

“Belajarlah dengan rajin, agar kalian seperti Pak Habibie”, itu yang paling sering kudengar dari para guru sekolah dasarku. Guru di kampungku yang jauh dari sentuhan kemajuan kala itu. Seiring waktu aku berpikir, kenapa nama orang ini begitu sering disebut, begitu kerap dijadikan teladan, bahkan oleh orang yang tak pernah sekolah sekalipun, seolah nama itu sudah menjadi bagian doa dan nasihat yang terpatri dalam kehidupan sehari-hari.

Karena rata-rata para orang tua di kampungku dulu, jarang ada yang sekolah, paling-paling hanya mengaji di langgaran. Oleh karena itu, jarang mereka tahu membaca berita, apalagi mencari informasi seperti orang-orang masa kini. Mereka belum bersentuhan dengan dunia pendidikan, tetapi nama Pak Habibie bagi mereka adalah cerita yang panjang untuk dikisahkan kepada anak-anaknya di setiap masa.

Mereka tak pernah tahu di mana Pak Habibie lahir dan tinggal, tetapi mereka tahu bahwa di negeri bernama Indonesia ini, ada sosok hebat dan luar biasa yang mesti ditiru oleh putra-putrinya kelak dan di kemudian hari, bahkan sejak masa belajar dan masa dini.

Mereka tak pernah mengenal Pak Habibie secara langsung, tetapi kekaguman mereka terhadap sosoknya menjadi spirit yang kuat dalam membangkitkan dan menyekolahkan buah hatinya, hanya agar cerdas dan hebat seperti Pak Habibie di masa depan.

***
Kini, saat Pak Habibie pulang ke Rahmatullah (11 September), dan para orang tua yang dulunya bercerita mengenai sosoknya juga sudah tiada, aku hanya duduk berkaca-kaca sembari menyadarkan diri sendiri di muka cermin, ternyata aku sudah bukan kanak-kanak lagi, dan ternyata sekarang sudah bukan dulu lagi. Bukan zamannya mendengar dengan setia dan bercerita.

Sekarang, anak-anak sudah tak butuh cerita tentang orang hebat dan luar biasa, karena mereka sudah merasa hebat sendiri.

Kini, anak-anak sudah tak mau mendengarkan cerita para orang tua tentang keajaiban dunia, sebab mereka sudah lebih pandai bermain game dan gadget, membuka YouTube, berselfi ria dengan Instagram, berstatus micin di Facebook dan bermeme di Twitter. Mereka sudah lebih nyaman mojok sendiri, dan menikmati gaya hidupnya tanpa orang lain di sampingnya. Karena mereka sudah punya figur baru di alam maya dan di jagad angan-angan mereka.

Dan tokoh idola mereka pun selalu tampak cengengesan di media sosial dan televisi. Tokoh idola mereka punya jutaan followers, karena selalu viral dan berpose erotis. Bedak dan make up idola mereka lebih utama dari karya nyata, karena memang hanya itu kemampuan dan prestasinya. Prestasi yang lain bagaimana (?), jangan ditanya, nanti mereka jadi marah. Sebab, itu hak asasi manusia! Sangat dilarang oleh negara!

Dan hebatnya, kalau idola kekinian mati, maka banyak yang berebutan menggantikan posisinya. Tampil lebih gaya dan lebih mewah. Semakin tebal pula polesan gincu dan bedaknya, atau lebih gaul dan banyak tingkah. Hilang satu, tumbuh seribu. Karena memang begitu hukum alamiah, yang instan hanya hidup sebentar. Yang abadi, hanya mereka yang sudah beramal dan berkontribusi, dan sayangnya sangat minim yang banyak jasanya era sekarang. Kini, yang dominan hanya yang ingin dipuja-puja dan diidolakn saja oleh orang lain, sehingga usaha kerasnya adalah memoles dirinya dengan berbagai merek dan styles.

***
Antara sekarang dan dulu, memang jauh berbeda. Dulu, seseorang hidup selalu ingin mendengarkan cerita orang lain dengan setia. Sekarang, seseorang punya banyak cerita hidup untuk disampaikan ke orang lain. Sehingga, yang mau mendengar sudah tidak ada. Dengan kata lain, sudah sibuk dengan jalan cerita hidupnya sendiri-sendiri. Sehingga waktu untuk berbagi dan saling melengkapi dalam kehidupan sosial tidak ada.

Dulu, sebagai anak-anak sangat senang bila para orang tua dan guru bercerita. Sekarang, sebagai generasi sangat malas dan jenuh apabila guru banyak bercerita, maunya yang langsung-langsung saja. Inginnya yang simpel-simpel saja. Alasannya, buat apa susah, kalau bisa yang mudah.

Dulu, guru inspiratif adalah guru-guru yang suka mendongeng dan bercerita di ruang kelas atau di halaman madrasah. Sekarang, guru yang tak diminati adalah guru-guru yang terlalu banyak berkisah dan memberi cerita. Sehingga, ditinggal murid-muridnya untuk main game dan aplikasi dunia maya. Mereka menganggap banyak cerita, hanya membikin lelah.

Dulu, di waktu aku masih kecil selalu minta didongengkan setiap mau tidur. Sekarang, anak kecil maunya tidur sendiri dengan smartphone-nya. Dengan kata lain, orang tuanya sudah diwakili mobile-nya, oleh android-nya, oleh permainan-permainan dunia mayanya.

Dulu, anak-anak kecil sudah sangat pandai membuat kuda dari dahan pisang dan mengendarainya melintasi berbagai dunia dan apa saja yang mereka mau. Sekarang, anak-anak tak menyukai kuda, karena sudah ada travel dan ojek online di halaman rumah. Sehingga berangkat dan pulang cukup melangkah ke pintu, sudah ada yang menjemput, sudah ada yang mengantar. Sehingga tempat bermain bukan bersama teman di lingkungan lagi, tetapi di kamar pribadi dan cukup sendiri.

Dulu, Pak Habibie membuat pesawat mengawalinya dari kertas dan menerbangkannya dari Jerman ke Indonesia. Sekarang, generasi muda bersosial media, sampai lupa tak pernah berkarya hingga tahu-tahu sudah cukup tua.

Sekarang Pak Habibie sudah tiada, siapa lagi yang akan menjadi cerita luar biasa dan hebat bagi anak-anak yang masih mau mendengarkan cerita dengan setia.

Entahlah, Pak Habibie. Beruntung aku dulu pernah setia mendengar ceritamu dari para orang tua dan guru-guruku waktu masih anak-anak. Waktu telinga ini masih sangat membutuhkan orang lain untuk berbicara soal dunia dan segala keajaibannya.

*A’yat Khalili, penulis muda yang banyak menulis karya fiksi dan non-fiksi. Publikasinya terdapat di berbagai media lokal dan nasional, juga pernah meraih penghargaan, antara lain: penghargaan Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional (PBDepdiknas, Jakarta, 2006) dalam Bulan Bahasa & Sastra 2006, sebagai pemenang ke-2 Sayembara Cipta Puisi Tingkat Remaja (13-22 tahun) Nasional; penghargaan Taman Budaya Jawa Timur (TBJT, Surabaya, 2006) sebagai pemenang pertama Lomba Menulis Puisi Tingkat Jawa Timur (Surabaya, 30-31 Desember 2006); finalis Lomba Penulisan Puisi Pariwisata Tingkat Umum Nasional bertajuk “Batu Bedil Award 2010” dalam Festival Teluk Semaka (FTS) 2010 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung (22-26 November 2010); menerima Anugerah Piala Terbaik Kampanye Sastra Institut Teknologi Bandung (ITB) 2014; finalis Lomba Cipta Puisi Tingkat Umum Nasional 2012, oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparegraf) bekerjasama dengan NulisBuku.Com & Plot Point (Jakarta, 22 Desember 2012); penghargaan Asia Tenggara dalam Anugerah Sastra Dunia Nusantara Melayu Raya (NUMERA-Malaysia) dari Persatuan Numera Malaysia (Kuala Lumpur, 20-25 Maret 2014); penghargaan Festival Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Madah (UGM) 2015 sebagai pemenang ke-2 Lomba Cipta Puisi Umum Nasional 2015; Penghargaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi Indonesia 2019; dan beberapa penghargaan lainnya.


Baca Lainnya