Oleh : Rifki Zidani*
Di jalanan, sorak-sorak keadilan bergemuruh. Lagu-lagu perjuangan mereka nyanyikan dengan lantang. Poster-poster yang bernarasikan kritik, mereka angkat-angkat tinggi. Semuanya berjalan menuju titik kumpul di Gejayan. Sesampainya di sanah, semua demostran berkumpul, mecanangkan informasi mendesak, bahwa untuk kesekian kalinya pemerintah terlalu naif menciptakan undang-undang yang tidak berpihak sama sekali dengan kepentingan rakyat. Sehingga mereka melakukan penolakan terhadap regulasi-regulasi yang dinilai hanya menguntungkan pemodal atau imvestor atau pihak yang hanya bertujuan untuk menguasai sumber daya alam negara ini.
Pada dasarnya, tuntutan mereka adalah untuk mengkritik beberapa rancangan undang-undang, seperti halnya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang kontroversial dan menganjurkan lembaga legislatif untuk segera mengesahkan RUU PKS. Tetapi tuntutan utama demonstrasi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak tersebut adalah menggagalkan omnibus law yang dianggap sebagai peraturan yang menyimpang baik secara formil atau konteks sekalipun.
Menurut Duhaime Legal Dictionary, omnibus law memilik arti semua atau untuk semua. Dalam hal ini, omnibus law merupakan konsep untuk perumusan sebuah peraturan perundang-undangan yang bentuknya merubah pasal-pasal dari beberapa regulasi induk menjadi suatu peraturan tunggal. Dalam sejarahnya, konsep hukum tersebut biasanya berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-saxon atau Common low System. Di antaranya seperti negara Amerika, Kanada, Australia dan beberapa negara lainya.
Indonesia juga merupakan negara hukum. Hal tesebut sesuai amanat pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang seluruh penyelenggara kekuasaan negara harus taat atas hukum yang berdaulat. Namun proses pembentukan omnibus law, khususnya RUU Cipta Lapangan Kerja tidak memenuhi prosedur pembentukan hukum yang berlaku.
Secara yuridis, UU. No. 12 Tahun 2011 merupakan undang-undang yang membahas pembentukan perundang-perundangan di Indonesia. Dalam pasal 10 yang mengatur sistemisasi pokok yang dapat diatur oleh undang-undang, tidak ada poin yang menujukkan mengenai peraturan perubahan pasal yang berorentasi multi regulasi. Sedangkan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja terdiri dari 15 BAB dan 174 pasal yang mensasar 11 klaster. Tentunya dalam regulasi tersebut akan muncul pembahasan yang kompleks dan tidak mendalam. Sehingga secara tidak langsung mengkroposi regulasi induk yang dijadikan klaster pembahasan. Dan hal tersebut bertentangan dengan UU. No. 12 Tahun 2011.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya, bahwa omnibus law merupakan 79 undang-undang dan 1,244 pasal yang akan direvisi sekaligus. UU tersebut direvisi karena dinilai menghambat laju investasi. Di dalam racangan undang-undang tersebut terdapat beberapa poin yang substantif; penyederhan perizinan berusaha, persyaratan investasi, perpajakan, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, adminastrasi pemerintah, pengenaan saksi (menghapus pidana), pengadaan lahan serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi. Menurut pemerintah beberapa aspek tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk penciptaan lapangan kerja yang besar dan megurangi jumlah penganguran.
Sayangnya kebermanfaatan tersebut hanyalah presepsi pemerintah saja. RUU Omnibus Law Cipta lapangan Kerja hanya menjadi karpet merah bagi para investor. Ia tidak benar-benar berpihak akan kesejahteraan buruh bahkan pengangguran sekalipun. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa pasal yang berorentasi pengurangan terhadap hak dari kaum perkerja itu sendiri.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal berpendapat, setidaknya ada enam poin yang berdampak buruk bagi buruh jika RUU sapu jagat tersebut disahkan. Pertama, upah minimum akan digantikan dengan penerapan upah per jam. Kedua, menghilangkan uang pesangon yang semula diatur di UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini tentunya akan menciptakan ketidakharmonisan antar buruh dan pemilik perusaahaan dan menghilangakan akan apreasisi bagi kaum buruh itu sendiri.
Ketiga, fleksibilitas pasar kerja dan perluasan outsourcing. Istilah tersebut merupakan sesuatu yang baru dalam omnibus law. Jika hal tersebut diterapkan, maka antara pekerja tetap atau perjanjian kerja waktu tidak menentu. Tentunya, prosedural tersebut merugikan buruh, sebab perusahaan akan mudah untuk menempatkan alokasi pekerja sesuai dengan model outsourcing itu sendiri. Artinya ranah buruh berada dalam wilayah yang gamang.
Sedangkan yang keempat, dengan disahkannya RUU Omnibus Law, tidak menutup kemungkinan kebijakan pembukaan kesempatan untuk tenaga kerja asing sangat besar. Sehingga kemungkinan terbesarya adalah mengikisnya kesempatan tenaga kerja dalam negeri karena daya saing yang sebagian besar didominasi pihak asing tersebut.
Kemudian yang kelima, hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Dalam hal ini, kinerja buruh seolah-olah hanya untuk kepentingan produksi perusahaan dan menghilangkan suatu hak yang seharusnya didapatkan. Dan yang terkahir, rapuhnya otoritas pemerintah untuk memberikan sanksi pidana pada pegusaha yang melanggar kententuan lingkungan. Hal ini mengacu pada salah satu usulan dalam draf RUU tersebut mengenai bagaimana metode interpretasi terhadap analisis dampak lingkungan (Amdal) yang tertuang dalam Pasal 29 UU Nomor 32 tahun 2009 akan diubah melalui mekanisme assessment yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan cara penunjukan langsung oleh pelaku usaha.
Dari semua itu, dapat dipastikan regulasi yang dibentuk oleh pemerintah tidak mempunyai nila kesejahteraan yang nyata akan rakyat, khususnya kaum pekerja. Para elite politik yang terlibat pembentukan omnibus law semakin menegaskan posisi mereka yang hanya menggandeng kepentingan para investor. Narasi pembangunan hanya didesain menjadi seolah-olah kepentingan publik. Tapi nyatanya, setiap pembentukan proyek akan merampas tanah rakyat tanpa asas kebermanfaatan dan juga ganti rugi yang layak. Bahkan, saat rakyat itu sendiri mencoba untuk mempertahankan haknya, pemerintah tidak segan-segan melakukan pemaksaan yang represif. Realitas tersebut semakin menegaskan bahwa semua proyek merupakan aset vital negara yang dilindungi oleh alat negara yang bersenjata lengkap demi kepentingan rezim investor.
Oleh sebab itu, para demonstran yang mempunyai nilai kesadaran tidak memilih diam saat pemerintah hanya menciptakan regulasi-regulasi yang melemahkan kesejahteraan rakyat. Mereka beranggapan bahwa perjuangannya merupakan pertaruhan yang harus dimenangkan. Sebab kepentingan rakyat dan para investor jelas berbeda. Para investor cenderung hanya memikirkan keuntungan, tidak peduli pekerjanya mendapatkan kesejahteraan atau tidak. Sedangkan kepentingan rakyat menuju kesejahteraan yang dirasakan dan dikawal oleh rakyat itu sendiri.
Maka, sudah selayakaya pemerintah mendengarkan aspirasi dan kritik orang-orang yang dirugikan. Bukan malah menciptakan buzzer-buzzer untuk menciptakan propaganda di media bahwa beberapa aksi yang dilakukan oleh para demonstran ditunggangi. Untuk meciptakan suatu kemanjuan bagi negara, tidak dilihat dari berapa banyaknya investor asing berdatangan. Tidak juga menggantikan beratus-ratus hektar tanah menjadi bangunan-bangunan megah yang hanya ditempati oleh konglomerat. Tapi, kemajuan negara tersebut dilihat dari seberapa banyak rakyat sudah sejahtera. Dan untuk menciptakan kesejahteraan tersebut, pemerintah harus belajar untuk mengdengarkan dan menghargai aspirasi rakyat. Mari tolak berasama-bersama omnibus law!.
*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta