Mahasiswa Milenial dalam Menyikapi Hajatan Demokrasi 2019 – Jejak

logo

Mahasiswa Milenial dalam Menyikapi Hajatan Demokrasi 2019

Sabtu, 17 November 2018 - 10:05 WIB

6 tahun yang lalu

Oleh : Rifki Zidani*

Hajatan demokrasi atau tahun politik akan segera bergulir. Semua rakyat tanpa kecuali akan menggunakkan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin selanjutnya. Desas-desus mengenai hangatnya keadaan politik sekarang sudah dapat dirasakan antara kubu petahana dan oposisi, mulai dari saling serang untuk melemahkan elektabiltas sampai pamer visi-misi agar terpilih menjadi pemimipin selanjutnya.

Bagi yang up to date memperhatikan perkembangan  kabar-kabar politik, pasti tahu tentang kasus-kasus apa saja yang terjadi. Seperti halnya dugaan tindakan hoax oleh Ratna Sarumpait  dari kubu Prabowo-Sandi, belum lagi kutipan pidato Prabowo mengenai tampang Boyolali yang kemarin viral seolah dalam pidatonya ada unsur menjelek-jelekan orang Boyolali itu sendiri . Hal yang kurang baik juga dilakukan oleh calon wakil Presiden dari Koalisi Indonesia Adil dan Makmur  tersebut. Bapak Sandiago Unu saat berziarah ke salah satu makam ulama besar sekaligus pendiri NU yaitu Kiai Bisri Syansuri di Jombang dengan melangkahi makam kiai , meskipun tindakan tersebut bukan kesengajaan tapi banyak publik apalagi warga nahdliyin geram dengan tidakan yang seolah tidak beretika tersebut.

Panulis tidak hanya memberikan kecendrungan  pada satu kubu saja, dari kubu Jokowi–Ma’ruf terdapat isu-isu yang dilontarkan pada Koalisi Indonesia Kerja tersebut. Seperti pengambilan calon Wakil Presiden Kiai Ma’ruf Amin yang terkesan adanya politisasi agama. Pernyataan dari Kiai Ma’ruf Amin mengenai buta dan budek juga mengundang polemik sewaktu sambutan saat deklarasi Barisan Nusantara, sehingga penyandang disabilitas di Jawa Barat tersinggung dan menuntut Kiai Ma’ruf Amin  untuk minta maaf. Yang paling parah, tuduhan bahwa Jokowi adalah PKI masa kini.

Berita-berita tersebut sudah bukan hal yang asing lagi untuk didengar, terkesan saling membeberkan tentang kelemahan dari setiap kubu meskipun kebenaran dari apa yang terjadi hanya sebagaian orang yang mengetahuinya. Hal ini membingungkan terhadap pemilih entah itu yang muda apalagi yang tua, karena situasi politiknya terlalu mengarah pada kesalahan yang diperbuat calon untuk lemahnya elektabilitas dari setiap kubu, belum lagi berita hoax yang meresahkan masyarakat. Seharusnya kedua kubu saling memperkuat visi-misi untuk Indonesia lebih baik kedepannya sehingga masyarakat terdidik.

Salaha satu pemilih yang paling dilirik dan diperebutkan dalam kontestan politik tahun mendatang adalah kaum milenial, termasuk mahasisiwa. Lantas apa keterkaitan mahasiswa dengan milenial? Salah satu  Majalah TIME menilai milenial adalah era orang yang lahir pada tahun 1980 – 2000. Secara tidak langsung perkiraan umur mahasisiwa yang menempuh pendidikan di kampus sampai pada batasan umur yang ditentukan. Meski kisaran soal usia masih menjadi perdebatan, tak bisa dipungkiri bahwa milenial menjadi kelompok yang paling didekati saat ini. Mahasiswa termasuk di dalamnya.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih milenial mencapai 70–80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Artinya, sekitar 35–40 persen memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu dan menentukan siapa pemimpin pada masa mendatang. Disisi lain, menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), pemilih berusia 17-38 tahun mencapai 55% pada 2019 nanti. Pemilih dengan rentang usia ini bisa dikatakan sesuai dengan kisaran usia milenial yang disebutkan salah satu majalah di atas.

Meskipun manyoritas pemilih adalah kaum muda atau generasi milenial, akan tetapi belum tentu semua yang termasuk dalam bagian generasi milenial tersebut peduli terhadap politik. Bahkan salah satu survei, membuktikan adanya apatisme politik dari generasi milenial. Hal ini terkonfirmasi dengan survei yang dirilis oleh CSIS dan Litbang Kompas. Survei CSIS yang dirilis pada awal November lalu menunjukkan bahwa hanya 2,3% dari generasi milenial yang tertarik dengan isu sosial-politik. Salah satu isu yang paling tidak diminati oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11% dari generasi milenial yang mau menjadi anggota partai politik. Lalu apakah yang termasuk pada generasi milenial melakukan hal begitu, hanya bergantung pada teknologi tapi gagal menjadi mahkluk sosial?

Lantas bagaimana sikap mahasiswa menjelang hajatan besar demokrasi pada tahun 2019 mendatang? apakah juga akan ikut-ikutan untuk bertindak apatis?  Disadari atau tidak mahasisiwa adalah manusia sosial yang mempunyai intelektualitas dan idealisme yang tinggi. Orientasi pembuktian terhadap  idealisme mereka adalah dengan adanya rasa peduli terhadap problematika yang terjadi disekitar lingkungan masyarakat, dan juga turut mengawal kebijakan negara yang harus pro terhdap rakyat. Tentunya pada Pileg dan Plipres  2019 ini, bukan waktunya untuk bersikap apatis, menampakkan sikap untuk mementingkan diri sendiri atau hanya berdiam diri seolah tidak terjadi apa-apa. Jika sikap seperti ini yang dibangun , mungkin mahasiswa tidak dikenal lagi dengan sebutan the moral force atau sebagai agent of change karena terlalu peduli pada diri sendiri sehingga bukan lagi manusia sosial tapi manusia yang individualis.

Sikap yang harus diambil adalah mahasiswa harus memberikan atau menciptakan perubahan terhadap kondisi politik yang sekiranya hanya memecah belah persatuan, menunjukkan sikap netral tapi juga mewarnai perkembangan politik dengan suara-suara kebenaran sebagai problem solver terhadap situasi politik yang suram. Sikap netralitas tidak dalam artian mahasiswa tidak memilih siapa-siapa, melainkan lebih detail dalam menentukan pilihan. Tidak hanya tergiur karena uang yang banyak, atau dijanjikan posisi jabatan tapi harus benar-benar paham akan elektabilitas calon dan visi-misi untuk masa depan negara. Karena mahasiswa bukan seorang penjilat tapi aktor perubahan dan disinilah peran dari mahasiswa sebagai agent of change atau the moral force menjadi pembuktian

Di sisilain, mahasiswa harus mebentuk hegemoni politik yang sifatnya tidak menciderai demokrasi yang dijunjung di Negara ini. Memberikan edukasi politik dan menjelaskan wacana-wacana siapa pemimpin yang seharusnya dipilih tanp harus memaksa, karena kebebasan masyarakat dalam memilih itu juga hal yang penting. Sehinggah harapan terbesar dari masyarakat tidak mememilih calon pemimpin karena isi dompet yang tebal atau popularitas semata, akan tetapi karena kesadaran bahwa calon pemimpin tersebut layak untuk dipilih.

Kesadaran seperti itulah yang harus dirasakan oleh mahasiswa milenial, bukan hanya terpaku pada fasilitas-fasilitas yang telah dimiliki, merasa nyaman sendiri, menang sendiri. Kepedulian terhadap masa depan negara jauh lebih penting, tapi juga harus diperhatikan mahasisiwa bukan alat untuk sebuah kepentingan yang sifatnya hanya pada dominasi kekuasaan untuk satu orang atau kelompok.  Idealisme adalah kekayaan terakhir bagi pemuda begitulah yang dikatakan Tan Malaka dan mahasisiwa tetap harus menjunjung tinggi sikap idealismenya, memihak pada yang lemah , tetap berdikari dan mempunyai nalar kritis terhadap persoalan bangsa. Karena mahasiswa bukan alat politik tapi mereka penggerak politik demi lahirnya pemimpin yang tidak hanya berjanji tapi ada bukti untuk kemajuan Indonesia.

*Penulis adalah mahasiswa semester II UIN Yogyakarta jurusan Hukum tata negara


Baca Lainnya