Oleh : Rifki Zidani*
Bagi yang up to date memperhatikan perkembangan kabar-kabar politik, pasti tahu tentang kasus-kasus apa saja yang terjadi. Seperti halnya dugaan tindakan hoax oleh Ratna Sarumpait dari kubu Prabowo-Sandi, belum lagi kutipan pidato Prabowo mengenai tampang Boyolali yang kemarin viral seolah dalam pidatonya ada unsur menjelek-jelekan orang Boyolali itu sendiri . Hal yang kurang baik juga dilakukan oleh calon wakil Presiden dari Koalisi Indonesia Adil dan Makmur tersebut. Bapak Sandiago Unu saat berziarah ke salah satu makam ulama besar sekaligus pendiri NU yaitu Kiai Bisri Syansuri di Jombang dengan melangkahi makam kiai , meskipun tindakan tersebut bukan kesengajaan tapi banyak publik apalagi warga nahdliyin geram dengan tidakan yang seolah tidak beretika tersebut.
Panulis tidak hanya memberikan kecendrungan pada satu kubu saja, dari kubu Jokowi–Ma’ruf terdapat isu-isu yang dilontarkan pada Koalisi Indonesia Kerja tersebut. Seperti pengambilan calon Wakil Presiden Kiai Ma’ruf Amin yang terkesan adanya politisasi agama. Pernyataan dari Kiai Ma’ruf Amin mengenai buta dan budek juga mengundang polemik sewaktu sambutan saat deklarasi Barisan Nusantara, sehingga penyandang disabilitas di Jawa Barat tersinggung dan menuntut Kiai Ma’ruf Amin untuk minta maaf. Yang paling parah, tuduhan bahwa Jokowi adalah PKI masa kini.
Berita-berita tersebut sudah bukan hal yang asing lagi untuk didengar, terkesan saling membeberkan tentang kelemahan dari setiap kubu meskipun kebenaran dari apa yang terjadi hanya sebagaian orang yang mengetahuinya. Hal ini membingungkan terhadap pemilih entah itu yang muda apalagi yang tua, karena situasi politiknya terlalu mengarah pada kesalahan yang diperbuat calon untuk lemahnya elektabilitas dari setiap kubu, belum lagi berita hoax yang meresahkan masyarakat. Seharusnya kedua kubu saling memperkuat visi-misi untuk Indonesia lebih baik kedepannya sehingga masyarakat terdidik.
Salaha satu pemilih yang paling dilirik dan diperebutkan dalam kontestan politik tahun mendatang adalah kaum milenial, termasuk mahasisiwa. Lantas apa keterkaitan mahasiswa dengan milenial? Salah satu Majalah TIME menilai milenial adalah era orang yang lahir pada tahun 1980 – 2000. Secara tidak langsung perkiraan umur mahasisiwa yang menempuh pendidikan di kampus sampai pada batasan umur yang ditentukan. Meski kisaran soal usia masih menjadi perdebatan, tak bisa dipungkiri bahwa milenial menjadi kelompok yang paling didekati saat ini. Mahasiswa termasuk di dalamnya.
Meskipun manyoritas pemilih adalah kaum muda atau generasi milenial, akan tetapi belum tentu semua yang termasuk dalam bagian generasi milenial tersebut peduli terhadap politik. Bahkan salah satu survei, membuktikan adanya apatisme politik dari generasi milenial. Hal ini terkonfirmasi dengan survei yang dirilis oleh CSIS dan Litbang Kompas. Survei CSIS yang dirilis pada awal November lalu menunjukkan bahwa hanya 2,3% dari generasi milenial yang tertarik dengan isu sosial-politik. Salah satu isu yang paling tidak diminati oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11% dari generasi milenial yang mau menjadi anggota partai politik. Lalu apakah yang termasuk pada generasi milenial melakukan hal begitu, hanya bergantung pada teknologi tapi gagal menjadi mahkluk sosial?
Sikap yang harus diambil adalah mahasiswa harus memberikan atau menciptakan perubahan terhadap kondisi politik yang sekiranya hanya memecah belah persatuan, menunjukkan sikap netral tapi juga mewarnai perkembangan politik dengan suara-suara kebenaran sebagai problem solver terhadap situasi politik yang suram. Sikap netralitas tidak dalam artian mahasiswa tidak memilih siapa-siapa, melainkan lebih detail dalam menentukan pilihan. Tidak hanya tergiur karena uang yang banyak, atau dijanjikan posisi jabatan tapi harus benar-benar paham akan elektabilitas calon dan visi-misi untuk masa depan negara. Karena mahasiswa bukan seorang penjilat tapi aktor perubahan dan disinilah peran dari mahasiswa sebagai agent of change atau the moral force menjadi pembuktian
Di sisilain, mahasiswa harus mebentuk hegemoni politik yang sifatnya tidak menciderai demokrasi yang dijunjung di Negara ini. Memberikan edukasi politik dan menjelaskan wacana-wacana siapa pemimpin yang seharusnya dipilih tanp harus memaksa, karena kebebasan masyarakat dalam memilih itu juga hal yang penting. Sehinggah harapan terbesar dari masyarakat tidak mememilih calon pemimpin karena isi dompet yang tebal atau popularitas semata, akan tetapi karena kesadaran bahwa calon pemimpin tersebut layak untuk dipilih.