KIAI DJUFRI MARZUKI: Singa Podium yang Syahid di Tangan PKI – Jejak

logo

KIAI DJUFRI MARZUKI: Singa Podium yang Syahid di Tangan PKI
Oleh: Ahmad Fauzan Rofiq*

Minggu, 25 Agustus 2019 - 20:28 WIB

5 tahun yang lalu

Kiai Djufri Marzuki (w.1965). (Foto/Ahmad Fauzan Rofiq)

KH Jufri Marzuki merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Pamekasan yang memiliki pengaruh besar di zamannya. Dia hidup di dua gelombang politik berbeda, yakni pada zaman perjuangan merebut kemerdekaan hingga era pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang meledak pada 1965.

KH Jufri Marzuki lahir dari pasangan suami istri (pasutri) KH Marzuki dan Nyai Rofiah. Ayah dan ibunya sama-sama keturunan Kiai Zubair, pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Sumber Anyar, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan. Tak heran bila Kiai Jufri, sapaan KH Jufri Marzuki, menjadi ulama yang disegani. Bukan hanya di Madura, melainkan juga di level nasional. Darah ulama inilah yang membuat Kiai Jufri menjelma menjadi ulama besar.

Oleh orang tuanya, Kiai Jufri dimondokkan di Ponpes Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Di pesantren itulah ia berguru kepada KH Abdullah Sajjad Syarqawi dan KH Moh. Ilyas Syarqawi. Kemudian, dia melanjutkan ke Ponpes Tempurejo, Jember.

Pada usia 19 tahun, Kiai Jufri menikah dengan Nyai Asyiah binti KH Basrowi, Ponpes Kayumanis, Kota Pamekasan. Sekitar 1945, keduanya hijrah ke Sumber Batu, Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Pamekasan. Di tempat itulah ia merintis Pondok Pesantren Sumber Batu. Di daerah Sumber Batu memang banyak masyarakat yang menjadi santri Kiai Jufri ketika beliau masih di Sumber Anyar.

Kiai Jufri Marzuki (w. 1965) dikenal sebagai orator ulung. Suaranya menggelegar dan retorikanya sangat bagus. Dakwahnya dalam bentuk pengajian-pengajian umum yang diselenggarakan masyarakat dan organisasi mampu memikat daya tarik masyarakat.

Uraiannya tegas, lugas mengenai masalah-masalah agama dan mudah dipahami masyarakat awam. Guyonan dan canda tawa yang ia selipkan di beberapa bagian ceramahnya membuat para hadirin tidak merasa bosan untuk mengikuti pengajiannya (bahkan sambil berdiri) selama berjam-jam.

Pantaslah bila ia selalu diundang untuk ceramah bahkan keluar Kabupaten Pamekasan. Di masanya, kiai yang juga menjabat Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Pamekasan ini dikenal sebagai singa podium.

Sejarah mencatat bahwa pada era Orde Lama Partai Komunis Indonesia (PKI) masih diperkenankan keberadaannya sebagai salah satu partai politik di Indonesia. Kesaksian masyarakat juga banyak yang menyatakan bahwa para anggota PKI di berbagai daerah sering membuat keresahan dan keonaran terhadap kegiatan-kegiatan lawan politiknya. Tidak luput juga dengan kegiatan-kegiatan NU.

Sering terjadi pengajian-pengajian yang diselenggarakan NU diganggu, mulai dari sekedar melepaskan anjing ke tengah-tengah acara, sampai pada bikin onar di saat acara sedang berlangsung. Ya, memang begitulah PKI yang menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan lawan.

Suatu ketika, Kiai Jufri diundang oleh masyarakat Kecamatan Konang Kabupaten Bangkalan. Ia diminta untuk mengisi ceramah dalam sebuah pengajian yang diselenggarakan mereka. Kiai Jufri pun ingin memenuhi undangan tersebut.

Pada waktu itu adalah tahun 1965, tahun dimana Partai Komunis Indonesia ingin melaksanakan kudetanya, juga tahun dimana PKI menjadi semakin kemaruk akan kekuasaan. Karena situasinya seperti itu, adalah wajar jika dalam setiap perjalanan masayarakat senantiasa bersikap siaga.

Semua orang yang hadir mungkin tidak pernah menyangka bahwa ceramah pada malam itu adalah ceramah Kiai Jufri yang terakhir kalinya. Namun, sepertinya Kiai Jufri sudah berfirasat tidak baik sebelumnya.

Selama perjalanan, Kiai Jufri ditemani oleh salah seorang santrinya yang bernama Syakir, seorang pemuda tanggung yang biasa menemani Kiai Jufri. Ketika di tengah perjalanan (sebagaimana kebiasaan para kiai masa itu biasanya berkendaraan kuda dalam sebuah perjalanan), Kiai Jufri berkata pada Syakir, “Saya lupa tidak membawa ‘sêkep’ (senjata), ketinggalan di rumah, bagaimana ini?” katanya.
“Mungkin diambil saja, Kyai. Kondisi keamanan sekarang ini tidak aman,” jawab Syakir.
“Ah, tidaklah. Nanti acaranya segera mulai,” jawab Kiai Jufri menepis firasat tidak baiknya itu.

Dan kehendak Allah pun terjadi. Ketika acara itu berakhir dan Kiai hendak pulang, ada seseorang yang mengaku bernama Sarpin berniat ingin menemaninya pulang. Dengan sifat santun dan ramahnya ia menawarkan diri untuk menjadi penuntu kuda Kiai Jufri. Hal ini adalah biasa di lingkungan masyarakat Madura bahwa mengantar kiai adalah sebuah kehormatan bagi masyarakat kecil. Si Sarpin pun diperkenankan untuk menemani perjalansn pulang Kiai Jufri.

Di tengah perjalanan, mereka melewati sebuah kali (sungai). Kiai Jufri bilang pada Sarpin bahwa ia mau turun sebentar untuk buang air kecil di kali itu. Ia menyuruh Sarpin agar diam di situ dan menunggu kudanya.

Baru saja selesai ia ‘menunaikan hajat’, tiba-tiba sebuah golok berukuran sedang sudah menancap di punggungnya. Ternyata orang yang bernama Sarpin itulah yang sengaja melakukannya. Si Sarpin lalu lari meninggalkan tubuh Kiai Jufri yang sudah bersimbah darah itu.

Kiai Jufri, dengan simbahan darah yang terus mengalir masih kuat menahan sakit. Kebetulan ketika saat itu ada dua orang lewat yang juga baru pulang dari mengikuti pengajiannya. Syakir langsung berteriak pada dua orang tersebut: “Itu ada orang lari ke arah sana (sambil menunjuk sebuah arah jalan), ia telah menusukkan golok pada Kiai Jufri dari belakang,” kata Syakir.

Langsung saja kedua orang itu berteriak “maling….. maling……” untuk menarik perhatian masyarakat sambil lari ke arah jalan yang ditunjukkan Syakir tersebut. Masyarakat pun langsung datang, sebagian ada yang mengurusi jasad Kiai Jufri dan sebagian lagi mengejar si pelaku. Kiai Jufri masih sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong lagi.

Lalu siapakah Sarpin itu? Masyarakat kemudian tahu dan mendengar kabar bahwa ia adalah suruhan PKI. Masyarakat juga mendengar berita bahwa ia dibayar oleh PKI memang untuk membunuh Kiai Jufri. Pada akhirnya masyarakat pun mendengar berita juga bahwasanya ia tewas gantung diri sebelum mendapat bayaran itu.

Bagaimana dengan Kiai Jufri? Ia wafat di rumah sakit dan dimakamkan di pemakaman di Pesantrennya. Ribuan orang hadir dalam acara pemakamannya, mengiringi penguburan jasadnya. Tidak luput juga para pengurus NU dan ulama-ulama Madura juga hadir. Bahkan Kiai Idham Chalid mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) turut hadir dalam acara tersebut.

Ketika itu Kiai Idham Chalid menyampaikan sambutan dalam acara penghormatan terakhir pada Kiai Jufri: “Kiai Jufri wafat karena saya, beliau wafat karena membela NU, beliau wafat pun juga demi Islam. Sehinggga kewafatannya adalah syahid dalam perjuangan yang besar,” katanya.

Oleh karena itu, untuk mengenang jasa Kiai Jufri, maka Kiai Idham memberi nama pesantren yang dirintis oleh Kiai Jufri (yang kebetulan waktu itu belum punya nama) dengan nama: “As-Syahid al-Kabir.”

Pihak keluarga, juga untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangan Kiai Jufri itu, mengabadikan dan memoseumkan pakaian bersimbah darah yang dipakai Kiai Jufri di pesantren tersebut. Mungkin karena kenangan yang mendalam ini pula, maka para dzurriyah Kiai Jufri menjadi pejuang NU yang setia sampai saat ini.

Demikian kisah perjuangan Kiai Jufri yang wafat dalam keadaan syahid seperti gurunya, KH. Abdullah Sajjad. Lahumal fatihah…!!!
Ahmad Fauzan Rofiq, M.Pd.I
Alumni Ponpes. Annuqayah Latee. Saat ini sedang mengemban amanah sebagai Pengasuh LPI Babul Ulum Nyalaran. Selain itu, Fauzan sapaan akrabnya, kini sedang mengabdi sebagai pengampu materi Tafsir Ayat Ahkam di STAI Miftahul Ulum Pamekasan. Beliau dipercaya sebagai Wakil Ketua MUI Larangan Pamekasan sekaligus juga menjabat Ketua LBM NU Larangan Pamekasan.


Baca Lainnya