Kiai Haji Ahmad Fauzi Sirran atau biasa dipanggil Kiai Fauzi adalah seorang tokoh agama yang sangat fenomenal terutama bagi masyarakat Kabupaten Sumenep. Beliau tidak hanya dikenal sebagai orang yang alim dalam ilmu agama, tetapi juga dalam hal ilmu hikmah. Namanya digolongkan sebagai waliyullah yang penuh karomah dan mukasyafah.
Kiai Fauzi lahir di daerah Pangambengan sekira tahun 1933 Masehi. Beliau adalah putra kedua dari lima bersaudara dari pasangan Kiai Sirran dan Nyai Madaniyah atau dikenal dengan sebutan Nyai Anom.
Setelah lepas dari pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Desa Pakamban, beliau melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep di bawah asuhan al-‘Alim al-Adib KH Moh. Ilyas Syarqawi. Selama mondok di Annuqayah, beliau sudah terbiasa melakukan olah jiwa atau tirakat.
Begitu lulus tingkat Ulya, beliau kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan dengan hanya bermodalkan tekad dan semangat. Kebetulan, saat itu Sidogiri membuka Madrasah Tsanawiyah untuk pertama kalinya. Entah kenapa, Kiai Fauzi langsung ditunjuk oleh Pengasuh Sidogiri untuk mengampu mata pelajaran Aljabar dan Ilmu Hayat.
Setelah cukup mengabdi di Sidogiri, beliau dipanggil pulang untuk dinikahkan dengan Nyai Maftuhah binti KH Abdullah Sajjad Syarqawi. Akad nikah dilangsungkan di Pondok Pesantren Annuqayah, yang mengakadnya adalah KH Muhammad Ilyas, dan KH Ahmad Basyir Abdullah Sajjad bertindak sebagai wali. Dua tahun beliau menetap di sana, lalu boyong ke Jaddung untuk mengembangkan pesantren peninggalan leluhurnya, yakni Pondok Pesantren Al-Ihsan. Semenjak kepemimpinannya pesantren tersebut mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Bagi masyarakat Desa Pakamban dan Desa Jaddung termasuk sekitarnya, Kiai Fauzi adalah segalanya. Apapun yang beliau titahkan, akan dituruti oleh masyarakat. Merah kata Kiai Fauzi, maka merah juga kata masyarakat, sehingga wajar jika kemudian muncul ungkapan bahwa “suara Kiai Fauzi adalah suara Tuhan”.
Hanya Bilang “Amin”
Pada suatu malam sekitar jam dua dini hari, Bapak Hamsun (utara Masjid At-Tanwir Pangambengan) kedatangan tamu dari Kabupaten Pamekasan. Si tamu menuturkan bahwa ia ingin sekali sowan ke Kiai Fauzi karena anaknya sakit keras dan masuk rumah sakit. Tapi Bapak Hamsun mengatakan bahwa Kiai Fauzi tidak menerima tamu saat tengah malam.
“Aduh bagaimana ini?!” Tamu itu kebingungan.
“Tapi bapak jangan gagalkan niat, biasanya kalau jam begini Kiai berdoa di Dalem (kediaman) nya”
“Lalu hubungannya apa..?”
“Bapak mantapkan niat dulu dan juga harus yakin bahwa Kiai tahu tujuan Bapak, sekarang saya akan antarkan Bapak ke kediaman Kiai dan Bapak cukup bilang Amin saja di depan kediamannya,” tawar Bapak Hamsun.
Orang itu pun setuju tanpa kesangsian. Dengan diantar Bapak Hamsun tamu tersebut berdiri di depan kediaman Kiai Fauzi dan langsung bilang “Amin, amin, amin…” dengan khusyuk.
Setelah cukup lama, tamu itu pun pulang. Keesokan harinya tamu tersebut datang lagi dengan wajah yang berbinar. “Alhamdulillah, anak saya sekarang sembuh. Sekarang saya akan nyabis (sowan) langsung pada Kiai Fauzi.”
Jin Pun Malu
Kiai kedatangan tamu dari Jawa, dan tamu itu langsung bertanya pada Kiai Fauzi, “Sampean punya amalan apa, Kiai?”
“Memangnya kenapa?” tanya Kiai Fauzi kalem.
Lalu tamu itu bercerita bahwa dia sebenarnya adalah Kiainya Jin. Setiap malam ia biasa memberikan pengajian untuk bangsa jin dari berbagai dunia.
“Kalau saya bepergian ke mana pun pasti dikawal minimal dua jin. Tapi anehnya ketika mau masuk ke lingkungan ini, pengawal saya tidak mau ikut, mereka tinggal di pohon kelapa sebelah barat sekolah TK itu. Ketika saya tanyakan pada mereka kenapa tidak ikut masuk juga, mereka menjawab bahwa jika dipaksakan masuk, maka mereka akan hangus. Sebenarnya, sampean punya amalan apa, Kiai?” ulang Kiai Jin itu penasaran.
Lalu Kiai Fauzi menjawab, “Ah, itu amalannya santri. Santri di sini biasa membaca Surat Yasin setiap malam Jum’at.”
—
Ada juga orang Pakamban yang sudah lama kerasukan Jin, namun anehnya ketika masuk ke lingkungan Pangambengan (nama dusun kediaman Kiai Fauzi) dia sadar. Saat sadar dia bercerita, “Nggak tahu juga, Jinnya tidak mau ikut kalau aku datang ke Pangambengan ini, dia hanya menunggu di pohon kelapa sana.”
Pagar Gaib
Pada suatu malam, salah satu santri Al-Ihsan sedang menghafalkan al-Qur’an di bukit kecil sebelah barat Sekolah Al-Ihsan Induk. Dia terkejut melihat fenomena aneh, ada sesuatu yang mengelilingi Dusun Pangambengan. “Saya melihat ada pagar cahaya berwarna hijau mengelilingi Pangambengan,” tuturnya.
Melintas Secepat Kilat
Pada suatu malam Kiai Fauzi mau mendatangi suatu acara di sebelah utara Desa Jaddung. Beliau mengajak salah satu santri dengan berjalan kaki, mereka terus melangkah hingga di daerah Grugguk yang sepi dan rimbun pepohonan. Tiba-tiba tampak di depan mereka ada banyak orang, tentu saja si santri merasa waswas dan khawatir. “Di tempat sepi dan jauh dari pemukiman penduduk, apalagi yang ingin dilakukan orang-orang itu jika bukan untuk berbuat jahat,” pikir si santri.
“Kamu takut..?” tanya Kiai. Si santri tergagap dan bingung untuk menjawab, mau bilang takut tentu saja malu, bilang tidak takut, dia akan berbohong. Jadi dia diam saja, namun Kiai langsung mengerti.
“Peganglah tanganku…!” pinta Kiai. Santri itu memegang tangan beliau meski agak canggung. Tiba-tiba santri itu tersentak, entah kapan dan bagaimana prosesnya ternyata mereka telah melintasi kelompok orang-orang tak dikenal itu.
Barokah Minyak “Ajaib”
Cerita tentang keistimewaan minyak wangi dan minyak angin pemberian Kiai Fauzi sudah dirasakan oleh banyak orang, baik bisnis, ekonomi, pengaruh sosial, pendidikan, keluarga, dan sebagainya. Kalau diceritakan semua, maka tulisan ini tidak akan cukup menampung ratusan atau bahkan ribuan kisah minyak “ajaib” itu. Jadi, sebagian saja.
Bel pintu di kediaman Kiai Nasih Fauzi (masih di barat) tidak bisa berbunyi, beberapa santri berusaha memperbaiki, namun tetap tidak bisa, kemudian datang salah satu putra Kiai Fauzi.
“Mungkin bel ini hanya masuk angin,” dawuhnya sambil memoleskan minyak angin (minyak yang biasa diberikan Kiai Fauzi pada tamu). Ajaib, ternyata bel itu bisa berbunyi lagi. Subhanallah!
Cerita lainnya. Pandok Al-Ihsan memiliki mobil yang sudah agak lawas usianya. Salah satu santri kepercayaan Kiai Fauzi memeriksa mobil tersebut, dan ternyata ada satu baut yang benar-benar karat dan tidak bisa dilepas. Berbagai cara sudah dilakukan, namun tetap tidak bisa. Kemudian datanglah salah satu putra Kiai Fauzi.
“Kenapa…?” tanya beliau.
“Ada baut yang tidak bisa lepas karena karat, Kiai.”
“Mungkin hanya butuh pelumas,” ujarnya sambil meneteskan minyak yang biasa Kiai Fauzi berikan pada tamu. Lalu beliau mengambil palu dan memukulnya. Ajaib, baut itu pun lepas. Tentu saja santri yang merawat mobil itu heran. Membuka baut dengan palu tentu saja bisa, tapi akan rusak semua. Namun sungguh aneh, tempat baut dan baut itu tidak rusak sama sekali.
Walaupun Tiada Tetap Istimewa
K.H. Ach. Fauzi Sirran wafat pada hari Ahad sekitar jam 03:00 WIB dini hari. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Pangambengan, berkumpul bersama orang tua, saudara, keponaan, ipar, dan famili lainnya. Semesta berduka atas kepergiannya. Pelayat dari berbagai daerah datang berbondong-bondong.
Diantara pelayat dari Jawa bilang, “Sungguh aneh, foto kiai yang saya jadikan wallpaper HP tiba-tiba hilang.”
“Punya saya juga, foto kiai yang saya letakkan di komputer juga hilang.”
Penulis : Ahmad Fauzan Rofiq