Jejak.co-Agus Sunyoto dalam bukunya ‘Atlas Walisongo’ menyatakan bahwa makam Arya Wiraraja ada di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Mengapa dikebumikan di Lumajang? Agus Sunyoto menjabarkan kronologi sejarah antara Sri Kertanegara dan Arya Wiraraja secara gamblang di dalam buku tersebut.
Menjadi Adipati di Madura
Mula-mula Kerajaan Lumajang adalah bagian dari Kerajaan Tumapel (Sighasari) yang dirajai oleh Nararya Kirana, kakak kandung Sri Kertanegara Wikramotunggadewa yang beragama Tantrayana, putri Sri Prabu Seminingrat Jayawisynuwarddhana. Keterangan ini terdapat dalam prasasti Mula Malurung yang ditulis oleh Sri Kertanegara atas perintah ayahandanya, Maharaja Tumapel, Sri Prabu Seminingrat Jayawisynuwarddhana.
Sepeninggal Nararya Kirana, tampuk kekuasaan Sighasari (Singosari atau Tumapel) dikendalikan Kertanegara dengan gelar abhiseka Sri Kertanegara Wikramotunggadewa.
Dikisahkan, Sri Kertanegara Wikramotunggadewa adalah pemimpin Kerajaan Sighasari yang kurang adil, haus kekuasaan, dan berambisi untuk menyatukan nusantara dengan misi agama yang dipeluknya, Tantrayana, sekte dari tantra-bhirawa. Sri Kertanegara, bibi Arya Wiraraja, menginginkan perluasan kekuasannya sampai ke Sumatera tidak hanya sebagai kekuatan milter, melainkan juga agar agama Tantrayana menjadi agama mayoritas penduduk nusantara.
Dalam hal ekspansi kekuasaannya ini, Sri Kertanegara menghendaki keponakannya Arya Wiraraja, anak dari kakak kandungnya, Nararya Kirana, agar turut memuluskan misinya tersebut.
Bagai kayu tersulut api, atas faktor ambisi kekuasaan dan kepentingan agama itulah, keharmonisan antara Sri Kertanegara dengan Arya Wiraraja menjadi rentan. Arya Wiraraja menolak untuk mendukung misi menyatukan nusantara yang dikehendakinya, apalagi demi misi agama Tantrayana.
Arya Wiraraja sendiri adalah muslim sejati, sehingga tentu saja ia memiliki kewajiban moral untuk mencegah perkembangan ajaran Tantrayana yang dalam ritualnya menggunakan persembahan manusia sebagai korban di ksetra-ksetra. (hlm. 125)
Keislaman Arya Wiraraja, terang Sunyoto, dapat dibuktikan dengan adanya situs makam kuno Arya Wiraraja yang terletak di Biting, Kutorenon, Sukadana, Lumajang. Setiap tahunnya, lanjut Sunyoto, masih senantiasa diziarahi oleh keturunannya, yaitu klan Pinatih yang beragama Hindu di Bali, Bupati-bupati Surabaya, dan Sultan-sultan Cirebon. Mereka semua menyakini bahwa Arya Wiraraja adalah seorang muslim.
Oleh sebab itulah, kedudukan Arya Wiraraja sebagai ‘Demung’ atau kepala distrik (baca: kepala rumah tangga di kerajaan Singhasari), pada waktu itu juga, disingkirkan oleh Sri Kertanegara menjadi Adipati atau Bupati di Madura, tepatnya di Sumenep.
Penurunan jabatan karena ketidaksetujuan atas titah Sri Kertanegara tersebut juga menimpa Amangkubhumi Pa Raganata Sang Ramapati yang diturunkan menjadi Ramadhyaksa. Tumenggung Wirakerti diturunkan menjadi Mantri Angabhaya. Demikian, keduanya beserta juga pujangga Santasmerti diturunkan menjadi pejabat tua (wreddha) untuk digantikan oleh pejabat muda (yuda) yang ditunjuk langsung oleh Sri Kertanegara.
Pada saat yang sama, Sri Kertanegara mengangkat Patih Madura Pu Sina menjadi pranaraja di Lumajang, yaitu wilayah juru yang tahtanya sebenarnya adalah hak waris Arya Wiraraja.
Kebijakan tersebut memiliki makna, Arya Wiraraja hanya menunggu waktu untuk kehilangan tahta yang menjadi hak warisnya sebagai cucu dari Sri Seminingrat Jayawisynuwarddhana, sampai pada saatnya, tampuk kekuasaan Tumapel kelak diambil alih oleh Sri Prabu Jayakatwang.
Tewasnya Sri Kertanegara Wikramotunggadewa
Lantaran sakit hati atas ambisi dan tindakan semena-mena yang dilakukan Sri Kertanegara, memanfaatkan kelengahan Sri Kertanegara yang pada saat itu, pasukan utama Kerajaan Sighasari sedang dikirim menyerang Pamalayu, Sri Prabu Jayakatwang, raja Glangglang, suami dari bibinya, Nararya Turuk Bali, melakukan penyerangan secara mendadak atas inisiatif dari Arya Wiraraja. Sri Kertanegara tewas, Sri Prabu Jayakatwang menang dan menggantikan kekuasaan Sighasari.
Dalam serangan yang dilakukan oleh Jayakatwang tersebut, hanya Nararya Sanggramawijaya yang berhasil kabur ke Madura dan meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja. Permintaannya pun disambut baik oleh Arya Wiraraja, sampai ia dikirim kembali ke Sighasari oleh Arya Wiraraja dengan mengutus anaknya, Wirondara, dengan mengirim surat kepada Jayakatwang.
Adapun isi surat yang dibawa oleh Wirondara tersebut adalah bahwa Nararya Sanggramawijaya telah menyerah dan bersedia mengabdi kepada Sri Prabu Jayakatwang. Jayakatwang pun menyambut baik surat itu, menerima baik pengabdian Nararya Sanggramawijaya, bahkan menyerahkan hutan Tarik kepadanya.
Di hutan itu, Sanggramawijaya sebagai raja bersama pengikutnya berhasil membuka serta membangun hutan tersebut menjadi tempat huni orang-orang Madura. Hal itu tentu tidak lepas dari bantuan Arya Wiraraja beserta keluarganya: Arya Adikara Ranggalawe, Menak Koncar, juga pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Lembu Sora, sehingga pada akhirnya hutan Tarik tersebut resmi diberi nama Majapahit Wilwatikta.
Di situlah, Nararya Sanggramawijaya mulai membangun kembali kekuatannya. Perlahan-lahan dan sabar ia mempengaruhi orang-orang yang masih setia kepada keturunan Sri Prabu Seminingrat Wisynuwarddhana dan orang-orang Sunda yang telah mengawalnya ke Tumapel sewaktu mengabdi kepada Sri Kertanegara agar bersedia tinggal di Majapahit, dimana ketika itu sudah menjadi pemukiman dan lahan pertanian subur.
Dengan dukungan penduduk Majapahit itulah, Nararya Sanggramawijaya berhasil mengatasi berbagai masalah terkait serangan balatentara Tartar yang akan menghukum Sri Kertanegara dimana ia telah tewas beberapa waktu sebelumnya.
Selang beberapa dasawarsa kepemimpinannya atas Kerajaan Sighasari, Sri Prabu Jayakatwang bersama putranya tewas atas serbuan tentara Tartar yang dipimpin oleh tiga panglima muslim: Kau Hsing, Sih Pi, dan Ike Meze. Namun, di sinilah gerilya Nararya Sanggramawijaya bersama sanak saudaranya, para pembantunya, dan penduduk Majapahit berhasil memukul mundur tentara Tartar.
Kekuasaan di Jawa ketika itu menjadi kosong, dan dengan demikian, Nararya Sanggramawijaya pun lalu dinobatkan sebagai raja Jawa baru dengan gelar abhiseka Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Maka atas jasa, pengabdian, serta pengorbanan para kerabat dan pengikutnya, Sri Kertarajasa Jayawarddhana kemudian memberikan jabatan-jabatan penting di kerajaan Majapahit yang dipimpinnya kepada-sebagaimana dicatat dalam serat Penanggungan (1296 M), meliputi: Arya Wiraraja sebagai menteri, Arya Adikara Ranggalawe sebagai menteri mancanegara, Arya Lembu Sora sebagai Patih Duha.
Janji Sri Kertarajasa Jayawarddhana
Struktur jabatan Kerajaan Sighasari yang ditetapkan oleh Sri Kertarajasa Jayawarddhana tidak cukup sampai di situ. Di bawah kepeminpinannya, Sri Kertarajasa mengangkat Pu Renteng sebagai Demung, Pu Elam sebagai Kanuruhan, Pu Wahana menjadi Tumenggung, Sang Pranaraja Pu Sina tetap menjabat sebagai Pranaraja di Lumajang.
Selanjutnya, inilah yang menyebabkan putra Arya Wiraraja, Ranggalawe, tewas di tangan Kebo Anabrang dalam pertempurannya melawan Patih Amangkubumi di Tambak Beras. Hal tersebut terjadi lantaran dirinya tidak terima atas kebijakan Sri Kertarajasa yang telah mengangkat putra dari Pu Sina, Nambi, sebagai Patih Amangkubumi (perdana menteri) Majapahit. Sedangkan, Arya Adikara Ranggalawe yang hanya diangkat sebagai Menteri Mancanegara di Tuban, menganggap, bahwa dirinyalah yang lebih pantas karena lebih berjasa daripada Nambi.
Luka mendalam pada seorang Arya Wiraraja atas meninggalnya putranya itulah yang menyebabkan Arya Wiraraja menagih janji kepada Sri Kertarajasa Jayawarddhana sebagai tanda jasa Arya Wiraraja yang telah menjadikan Sri Prabu Jayakatwang menerima penyerahan dirinya. Sehingga, secara bertahap Sri Kertarajasa Jayawarddhana, yang sebelumnya masih bernama Nararya Sanggramawijaya itu, berhasil membangun kekuatannya di hutan Tarik dimana kelak bernama Majapahit Wilwatikta.
Janji itu adalah, membagi Kerajaan Lumajang menjadi dua wilayah kekuasaan. Daerah kekuasaan Arya Wiraraja tersebut adalah wilayah timur kerajaan, yaitu wilayah Juru Lumajang yang merupakan warisan dari ibundanya, Nararya Kirana, putri Sri Prabu Seminingrat Jayawisynuwarddhana.
Sri Kertarajasa Jayawarddhana pun mengabulkan permohonan Arya Wiraraja. Ia memberikan wilayah timur kerajaan yang disebut Lumajang Tigang Juru (tiga Juru yang meliputi Kerajaan Lumajang, Bayu, dan Wirabhumi) dengan ibukota Lumajang. Nah, di sinilah pada akhirnya Arya Wiraraja dan keturunannya menjadi raja, wafat dan dikebumikan, istirahat untuk selama-lamanya. (don)