Oleh : Rifki Zidani*
Satu hari setelah ditetapkannya Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus korupsi, beredar surat intruksi dari Pengurus Besar PMII denga Nomer 391.PB-XIX.02.124.A-1.09.2019 untuk melakukan aksi di setiap cabang kota. Sebagai seorang kader, saya sempat senang karena dalam waktu yang cukup lama PMII terlelap dalam memberikan respon akan permasalahan bangsa yang terjadi. Dan akhirnya kembali untuk menuntut ketidakadilan yang menyebakan Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tetapi rasa senang tersebut berubah seketika menjadi kegeraman setalah saya membaca isi dari press releasenya. Ada hal aneh dalam tuntuntatan aksi yang diserukan. Apa yang saya harapkan tidak sesuai dengan pernyataan di dalam surat intruksi. Pertanyaan yang memenuhi otak saya beraneka macam. Mulai dari kenapa harus isu Taliban yang berada di internal KPK menjadi poin pertama tuntutan. Sampai saya mencoba menerka-nerka lebih jauh, apa ini hanya seruan aksi yang dibungkus dengan narasi Taliban dan tebang pilih, dalam memberantas korupsi untuk menyelamatkan sahabat Imam Nahrawi.
Semisal ini berkaitan dengan poin terakhir yang saya asumsikan, dalam artian untuk membela bang Imam Nahrawi. Intruksi dari Pengurus Besar bukan lagi berlebihan tapi terkesan lebay dan buang-buang tenaga untuk melakukan aksi. Ada hal yang lebih mendesak untuk dibela. Kebijakan-kebijkan negara sedang menunjukkan wajah otoriternya yang akan melemahkan kebebasan dan stabilitas masyarakat. Salah satunya, kondisi KPK yang dipenghujung kematian atau bahasa lainnya KPK berada di Darkknes moment. Mengapa tidak memilih agenda untuk memperkuat dan membela KPK yang dilemahkan. Atau memilih untuk mengkritisi rancangan RKHUP yang begitu rancu dan menuai banyak polemik. Sebagai representasi bahwa PMII tetap bergandengan dengan kepentingan rakyat, bukanya itu lebih bermanfaat?
Dalam hal ini saya tidak semerta-merta menelan intrukis PB PMII secara emosional saja. Tetapi untuk mengidentifikasi permasalahan, rasionalitas dan kajian kritis tetap diperlukan. Agar sebuah pemahaman terbentuk secara komperhensif. Pertama, hal yang menarik adalah Kelompok Taliban di tubuh KPK yang oleh PMII diframing menjadi isu tuntutan. Apakah hal ini logis mengingat Taliban masih menjadi sesuatu yang asumtif? Atau sebenarnya ini hanya paronia radakalisme yang dijadikan alibi untuk memecah belah keutuhan lembaga antirasuah tersebut.
Taliban adalah isu yang muncul di jagat media bersamaan dengan bumingnya revisi UU KPK. Hal ini pada dasarnya adalah isu yang berbentuk komparasi antara istilah Polisi India dan Taliban yang dikonotasikan sebagai gerakan radikalisme yang besar di Afganistan. Penyidik-penyidik yang militan diistilahkan dengan kelompok Taliban yang berpenampilan dengan celana cingkrang, jidat hitam dan atribut yang mengarah pada radikalisme. Berbalik dengan julukan Polisi India, hal tersebut berlaku pada penyidik KPK yang tidak militan. Sebagai mana perilaku Polisi India yang khas dengan tindakan yang malas dan koruptif. Melalui diskripsi pengkategorian itulah, publik digaduhkan dengan kebenaran adanya indikasi radikalisme di internal KPK. Meskipun lembaga Bantuan Penangulangan Terorisme dan Badan Inteljen Negara tidak menemukan adanya sesuatu yang menunjukkan pada paham yang bertentangan dengan Pancasila tersebut.
Menurut Ismail fahmi, pendiri Drone Emprit Academik, narasi Taliban merupakan isu yang sangat efektif menjadi propoganda untuk melemahkan KPK. Dia melihat adanya fenomena Cyeber Tropping dan commputing propoganda dalam mengawal perkembangan isu lembaga KPK di media sosial. Sehingga Tidak jarang buzzer-buzzer yang menarasikan perihal bahaya laten Taliban dengan hastag dan meme yang menunjukkan celana cingkrak, mata merah atau jidat hitam menjadi entry point yang membanjiri halaman mendia sosial. Dampaknya adalah pada waktu itu, opini publik terbangun tanpa mengetahui hal tersebut manipulatif atau tidak. Pada titik inilah apa yang dikatakan Yuval Harari tentang era pasca kebenaran terjadi. Artinya teknologi dapat memanipulasi apapun tergantung di tangan siapa ia digenggam ,sehingga membedakan kebenaran dan kebohongan sangat tipis. Padahal dalam realitanya anggota KPK tidak hanya dihuni oleh orang-orang yang beragama Islam dengan paham-paham yang hetrogen. Tetapi ada beberpa penganut agama lain yang berada di internal KPK. Larangan untuk beribadah tidak pernah diserukan oleh pimpinananya bahkan harmonisasi bergama terbangun dalam kinerja mereka. Ini terbukti dari tertibnya dan adanya kebebasan dalam beribadah. Dan sebenarnya, di situasi inilah tugas mahasiswa untuk menciptakan narasi-narasi yang berfungsi sebagai Point of Clarification, bukan larut dengan nasrasi-narasi propokatif apalagi menjadikanya bahan untuk melakukan tuntutan.
Yang kedua dalam menilai peristiwa atau sebuah permasalahan apapun, apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer harus dingat. Ya, adil sejak pikiran. Bukankah kader PMII diajarkan untuk mimihak pada kepentingan masyarakat tidak pada kelampok atau individu tertentu. Dan penjelasan itu, tertera jelas dalam materi harakah ke-PMII-an. Kaitanya dalam intruksi seruan melakukan aksi, ini terkesan subjektif dan tidak mempunyai standing posisition yang jelas sebagai organisasi gerakan, mengapa demikian? Coba sejenak pikirkan, kenapa intruksi diedarkan saat satu hari setelah salah satu senior PMII Imam Nahrawi dijadikan tersangka. Saat isu lainya marak, mengapa tidak ada intruksi yang juga mengajurkan kader-kader PMII untuk melakukan tindakan responsif. Dari sini sedikit demi sedikit standing posisition mengalami kemunduran, yang harusnya berpihak pada masyarakat kelas bawah, kini merasa nyaman dengan kepentingan elit. Berbeda dengan aktivis lainnya yang berduka atas lonceng kematian KPK dan matinya demokrasi. PMII memilih tegak untuk mempersoalkannya.
Seharusnya Pengurus Besar PMII melakukakan evaluasi akan kebijakan-kebijakan yang cenderung nepotis, khususnya mepertimbangkan langkah-langkah alternatif supaya tidak cacat secara logika dan buntu secara gerakan. Hal ini terbukti dengan intruksi aksi yang terburu-buru, di lapisan bawah ( cabang, komisariat dan rayon) terpecah belah menjadi dua gerakan. Ada yang mematuhi dengan mengikuti intrukisi atasan dan ada yang menolak dengan alasan narasi tuntutan hanya berdasar hal yang asumtif dan tidak sesuai dengan cita-cita gerakan PMII. Dalam sebuah permasalahan tidak harus muluk-muluk dalam mewartakan pergerakan yang dinamis dan berkeadilan. Sudah jelas Tri Khidmat PMII menganjurkan untuk berbuat adil, jujur dan beringtegritas, tinggal bagaimana para kader dan juga pengurus untuk memediasi gerakan yang sesuai dengan ruh pergerakan itu sendiri.
Tinggalkan nalar-nalar elitis dan bungkam gerakan-gerakan yang hanya bersandar pada kepentingan yang hegemonik. Jika tetap terjebak dalam belenggu kepentingan para elit, maka gerakan dari organisasi PMII terbungkam secara pasif. Oleh sebab itu, seharusnya kader dan terutama pengurus dari komponen yang paling atas sampai di bawah tidak terjebak dengan muslihat kekuasaan yang dijalankan melalui revolusi pasif negara. Seharusnya kita kritis dalam membaca realitas sosial dan peka akan gejolak permasalahan yang ditebar oleh pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang melemahkan. Dari sinilah pondasi pergerakan kita tertata. Menginisiasi gerakan yang kritis di mana dalam hal ini sadar untuk mengetahui bahwa gerakan kita cenderung akan realitas sosial yang berkeadilan. Dan menciptakan dinamika gerakan yang kereatif dengan tujuan gerakan-gerakan yang terstuktur dari berbagai elemen. Sahabat sejati bukan mereka yang selalu membenarkan kita dalam keadaan apapun. Tapi sahabat yang baik ketika bergetar hatinya mendengar ketidakadilan sedang berlangsung.
*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan kader PMII Yogyakarta