Buah Kelapa dan Syekh Nawawi Banten – Jejak

logo

Buah Kelapa dan Syekh Nawawi Banten

Selasa, 6 Agustus 2019 - 19:30 WIB

5 tahun yang lalu

Oleh:Mashuri *)

“Harus dipahami bahwa seorang penulis tak lebih penting daripada seorang penjual kelapa” –Paulo Coelho

Begitu membaca fatwa penulis Brazil, Paulo Coelho tersebut, ingatan saya langsung menjemput sosok Syekh Nawawi, yang karib disapa oleh kalangan santri pribumi dengan nama Kiai Nawawi Banten atawa Syekh Nawawi Al Bantani —yang berbeda dengan Imam Nawawi pengarang Riyadus Sholihin dari Desa Nawa Syria. Tentu saja, bukan karena ada hubungan antara Coelho dan Syekh Nawawi Banten, tetapi irisan mereka terletak pada sebuah benda: kelapa.

Entah bagaimana kesahihan kisah romantisme buah kepala dan Syekh Nawawi, yang jelas, keduanya merupa kisah super mesra. Pasalnya, bila berbicara tentang Syekh Nawawi di kalangan santri, yang tidak boleh dilupa adalah keberadaan buah tropis —yang biasa tumbuh di pesisir tersebut. Boleh berupa degan atau kelapa tua —ehm, semakin tua semakin melimpah santannya. Dalam bahasa mboisnya, kelapa hadir bukan saja sebagai penanda kekerashatian, tapi tapal waktu, sekaligus identitas yang hingga kini masih dipoles dalam berbagai kesempatan sebagai nama puitis dari Nusantara, yaitu negeri nyiur melambai.

Sahdan, realitas sejarah terkait dengan kelapa dan Syekh Nawawi sudah menjadi relasi yang saling memaknai. Menurut shahibul hikayat, ketika Ibunda Syekh Nawawi minta Nawawi kecil untuk ‘hengkang’ dari rumah untuk menuntut ilmu, sang ibu menanam pohon kelapa sebagai penanda: kelak, sang anak baru diperbolehkan pulang kampung kelahiran di Tanara Banten, bila pohon kelapa itu sudah berbuah. Tak ada batas yang jelas, karena kelapa zaman dulu memiliki kisaran tahun yang panjang dan berbeda.

Laku menanam kelapa yang dilakukan seorang ibu menyimpan potensi pralambang yang terbuka ditafsirkan secara beragam. Jika tanpa makna yang lebih filosofis, tentu kita dapat bertanya-tanya, kenapa yang ditanam pohon kelapa dan kenapa tidak yang lain, semisal trembesi, beringin atau bahkan mangga. Tak heran, dari laku sang ibu itu, dapat digali banyak kemungkinan, baik itu terkait dengan waktu, kelapa dan ibu, dan panggilan dari ibu pertiwi.

Kelapa, yang dalam bahasa Latin disebut Cocos Nucifera, memang memiliki dimensi makna yang melewati batas semantiknya. Di negeri tropis, ia tidak hanya tumbuh dalam ranah regenerasi –semacam tunas yang diharapkan tumbuh melewati serangkaian proses dan menghasilkan manusia-manusia yang mumpuni di bidangnya. Tak heran, tunasnya saja menjadi lambang Pramuka.

Di wilayah kultural, terutama Jawa, ia tidak hanya menghuni ruang konstruk kultural yang memiliki dimensi penandaaan yang melampaui kodrat literalnya. Ia menjadi penanda dari sebuah kemampuan mengatur bagi seorang pemimpin dengan filosofi pohon kelapa. Selain itu, masih banyak lagi.

Sementara itu, posisi ibu, dalam hal ini dapat berarti ibu biologi, ideologis atau tafsir yang lebih luas terkait dengan Ibu Pertiwi. Korelasi antara ibu dan kelapa –dalam tafsir asolole pada kisah Imam Nawawi– menjadi jalinan pada citra tanah air yang menjadi ladang pengabdian dan pengamalan ilmu.

Pengabdian Syekh Nawawi adalah pengabdian intelektual. Ia mewariskan pada generasi sesudahnya segudang tulisan perihal ilmu-ilmu keislaman. Mungkin, dari kisah pohon kelapa Syekh Nawawi itulah, Coelho mengeluarkan fatwa dahsyatnya terkait keberadaan seorang penulis. Namun, maaf, sampai tulisan ini diakhiri, belum jelas kepastian hubungan antara fatwa Coelho dan kisah pohon kelapa Syekh Nawawi.

Degan ijo bisa kanggo tamba racun
Duwe bojo loro wedi yen dikira dukun

Kelapa Gading, 2019


*) Mashuri, lahir di Lamongan, 27 April 1976. Pemerhati hal-ihwal tradisionalitas dan religiusitas. Pegiat seni dan sastra di Komunitas Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Puisi, cerpen, esai, novel, naskah drama, sejarah lokal, dan kajian ilmiah dipublikasikan di sejumlah surat kabar. Pemenang Sayembara Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), 2006. Sempat bergiat sebagai pewarta pada tahun 1999-2011. Tahun 2006 sampai sekarang masih berhikmat sebagai peneliti sastra dan manuskrip-manuskrip kuno di Balai Bahasa Jawa Timur.


Baca Lainnya