Ada menggelitik pikiran saya ketika membaca penelitian yang dilakukan Laboratorium Informasi Publik (LIRIK) terkait dengan perpanjangan jabatan kepala desa 9 tahun yang dilakukan selama 2 bulan antara Maret-April 2023. Yang menjadi objek penelitian itu adalah generasi Z justeru yang menarik adalah hasilnya 71% generasi Z tidak setuju kepala desa 9 tahun, yang setuju 1%, dari data ini bisa dilihat sebenarnya yang mengingingkan 9 tahun jabatan kepala desa itu siapa?.
Kita tahu politik generasi Z ini cenderung dinamis, karena masih memiliki paradigma yang beragam dan progress melihat masa depan. Mereka suka pada hal-hal baru, gagasan baru atau terobosan-terobosan baru bahkan kebijakan yang benar-benar menomorsatukan rakyat. Kalau jabatan kades terlalu lama, apalagi tanpa terobosan-terobosan baru, maka kades akan menjadi benar-benar menjadi penguasa yang tidak produktif bahkan programnya pun tidak akan produktif, akhirnya des aitu selamanya akan menjadi desa yang “hanya” menunggu dana desa tanpa ada Upaya untuk berpikir menggunakan dana desa untuk kemandirian desa. Lalu buat apa program yang tidak produktit dipertahankan dalam perjalanan kekuasaan kades 9 tahun, bukankah itu perjalanan “sia-sia” dalam sebuah kekuasaan yang nihil.
Oleh karenanya, saya kemudian berpikir, kades 9 tahun untuk siapa? Kalau saya bertanya kepada pendamping desa, maka 9 tahun itu “baik”, apalagi bertanya pada kepala desa, justeru sangat baik, tapi kalau saya bertanya kepada generasi Z, yang memiliki paradigma progresif, 9 tahun jabatan kades itu justeru tidak produktif, sebab misalnya ada yang mengatakan dana hanya untuk paving, aspal, lampu jalan, belum ada dana desa yang dialokasikan untuk penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), yang kini menjadi isu global. Mengapa tidak evaluasi dulu bantuan PKH misalnya atau bantuan sosial yang lain, atau dana desa yang dikelolah desa, apakah sudah tepat sasaran atau sesuai dengan konteks kebutuhan desa?
Maka untuk siapa 9 tahun jabatan kepala desa?, tentu kita mampu menjawab. Sebenarnya ada persoalan yang mendasar tentang desa yaitu apakah jabatan kades 9 tahun untuk membangun kualitas SDM? Atau akan menjadikan desa lebih mandiri? Atau hanya untuk memperpanjang bantuan dana ke desa dan ke pendamping desa? Bahkan yang sangat mendesak dewasa ini dana untuk pengelolaan dan pemiliharaan Sumber Daya Alam? Persoalan-persoalan ini penting direfleksikan bersama, agar pendamping desa itu memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengevaluasi program dan dana desa. Meskipun saya lihat pendamping desa masih di tahap administratif nihil reflektif dan solutif.
Misalnya dari dana desa itu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, penguatan SDM, pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan hidup di masing-masing desa. Dari sini kemudian pemerintah desa, pendamping desa bahkan kementrian desa harus mampu membaca isu-isu global yang terkait dengan desa, misalnya yang kini sedang menjadi isu global. Di Amerika Serikat misalnya pada tahun 1960-1970an mulai muncul Gerakan aktivis dan organisasi lingkungan dan sampai sekarang aktivis itu fokus pada pertanian atau kesehatan manusia.
Anehnya dengan dana desa yang luar bias aitu, Indonesia masih absen dalam kajian kritis terkait persoalan agraria di Nusantara bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia sudah merespon persoalan krisis lingkungan. Ketika dunia berbicara problem yang ada di desa, sementara Indonesia masih berbicara jabatan dan dana, apakah ini pertanda dan penanda bahwa bangsa kita membaca, atau pendamping desa memang tidak membaca?
Dengan demikian, jabatan kades itu sudah cukup, tidak usah ditambah, sebab berbicara “jabatan” ini menjadi tanda dan penanda bahwa kita masih “rakus/tamak” dalam jabatan, artinya isu ini adalah isu kekuasaan dan setiap kekuasaan bermakna kapital. Apakah kemudian kita yang mengaku beragama masih tidak malu ketika dikatakan “rakus/tamak” dalam jabatan. Maka memperpanjang jabatan apa pun itu, jika tidak produktif dan solutif alangkah baiknya evaluasi dan kaji secara kritis dan detil tanpa ada kepentingan kelompok dan golongan karena jabatan itu penting bagi kemanusiaan, jika digunakan dengan bijak.
Desa sebenarnya kekuatan alam, kekuatan untuk menjaga kekayaan alam yang terkandung didalamnya, jadi jika pendamping desa dan pemerintah desa benar-benar mengkaji desa dengan baik, tentu pemerintah desa dan pendamping desa akan berpikir kritis dan serius untuk memanfaatkan potensi desa untuk kemakmuran desa, sehingga dari sini akan tercipta desa yang mandiri dan berdaulat. Apakah menjadi masalah jika desa mandiri dan berdaulat? Tentu tidak bagi yang berpikir tentang sila kelima Pancasila: keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan memiliki tujuan untuk mengembangkan desa, bukan mau menciptakan desa yang terus-terus “mengemis”.
Kalau jabatan kades 9 tahun disahkan sementara belum sampai berhasil menciptakan desa mandiri dan berdaulat, maka dana desa untuk apa dan 9 tahun jabatan kades untuk siapa? Mari kita membaca lebih kritis dana desa dan jabatan 9 tahun kades tersebut. Sebagai bagian dari menghidupkan belajar ilmu dan pengetahuan. Salam.