JEJAK.CO, Sumenep – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Desa Wisata inisiatif Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumenep menuai kritik.
Ketua Asosiasi Desa Wisata (Asidewi) Madura Raya Fadel Abu Aufa kaget mendengar ada Raperda Desa Wisata yang sedang digagas Komisi IV DPRD Sumenep.
Fadel menilai Raperda Desa Wisata prematur. Menurutnya, sebelum lahir raperda seharusnya ada percontohan desa wisata ideal di Sumenep.
“Sebelum lahir Raperda Desa Wisata seharusnya ada percontohan desa wisata di Sumenep. Setahu saya belum ada desa wisata di Sumenep,” kata Fadel kepada jejak.co, Senin (12/9/2022).
Wisata yang selama ini berkembang di Sumenep, seperti Bukit Tawaf, Pantai Sembilan dan lainnya dinilai tidak masuk kategori desa wisata.
Menurut Fadel, desa wisata menawarkan paket wisata secara integral yang ada di sebuah desa, mulai dari budaya, kuliner, homestay, dan lainnya. Pengunjung atau wisatawan ditawarkan paket wisata untuk melihat isi di dalam desa tersebut. Fadel mencontohkan Desa Wisata Tamansari Banyuwangi.
“Desa wisata menjual paket wisata desa, kalau wisata desa menjual tiket masuk wisata,” terangnya soal perbedaan desa wisata dan wisata desa.
Fadel kemudian berharap Raperda Desa Wisata dikaji secara matang sebelum disahkan menjadi perda. Menurutnya, perlu ada FGD yang melibatkan semua elemen agar raperda itu tidak menimbulkan masalah.
“Pemerintah daerah, kepala desa dan BUMDes harus satu pemahaman tentang desa wisata. Selama ini ada yang bilang ketika wisata itu dikelola BUMDes namanya desa wisata,” pungkasnya.
Diduga Copy Paste, Perlu Ada Revisi
Di lain pihak, Direktur Pusat Pariwisata Nusantara Ahmad Faidlal Rahman juga memberikan catatan dan kritik terhadap Raperda Desa Wisata.
Dosen Pariwisata dan Perhotelan Fakultas Vokasi Universitas Brawijaya itu menyarankan agar draf Raperda Desa Wisata direvisi, yakni pasal 19 poin 2 yang berbunyi, kelembagaan pengelola desa wisata merupakan unit usaha yang memiliki legalitas.
“Pada aspek ini berpotensi rancu dengan regulasi di atasnya, apalagi unit usaha sebagai pengelola desa wisata ditetapkan dengan keputusan bupati,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, lembaga pengelola desa wisata harus jelas bentuk usahanya dan berbadan hukum apa. “Jika unit usaha ini ditetapkan dengan keputusan bupati, maka ke depan berpotensi bermasalah,” imbuhnya.
Selain itu, pria yang karib disapa Faid itu juga menyoal masalah usaha wisata. Di pasal 21, usawa pariwisata meliputi:
a. Jenis makanan dan minuman;
b. Penyediaan akomodasi;
c. Kegiatan hiburan dan rekreasi;
d. Daya Tarik wisata;
e. Kawasan pariwisata;
f. Penyediaan jasa tranpotasi wisata;
g. Jasa perjalanan wisata;
h. Penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
i. Jasa pramuwisma;
j. Wisata tirta;
k. Jasa informasi pariwisata; dan
l. Jasa konsultan pariwisata.
Usaha pariwisata desa tersebut perlu ditinjau lagi, karena banyak tidak sesuai dengan kondisi di desa wilayah Sumenep.
“Tidak semuanya ada di desa loh,” ujarnya.
Selain perlu ada revisi, Faid juga menduga
materi draf Rperda Desa Wisata banyak copy paste dari Perda Desa Wisata Kota Batu.
“Materi ranperdanya banyak nyontoh ini. Padahal materi ini banyak yg kurang pas loh,” paparnya.
Terlepas dari sejumlah kelemahan, Faid tetap mengapresiasi lahirnya Raperda Desa Wisata. Katanya, raperda ini menjadi angin segar bagi pemerintah daerah, kepala desa, dan pihak-pihak terkait untuk mendorong keberadaan desa wisata lebih jelas dan memiliki payung hukum ke depan.
Sementara soal perdebatan desa wisata yang dinilai tidak ada di Sumenep, pakar muda pariwisata itu memiliki pandangan berbeda dengan Ketua Asidewi Madura Raya Asidewi Madura Raya Fadel Abu Aufa.
Menurutnya, pada dasarnya desa wisata di Sumenep sudah ada, hanya saja butuh dikembangkan.
“Kalau menurut akademisi yang dasarnya referensi dan literasi, sebenarnya Sumenep sudah punya desa wisata. Ada Giliyang, Desa Aengtongtong, dan lain-lain,” kata Faidlal Rahman, Senin (13/9/2022).
Faid kemudian menambahkan bahwa desa wisata di Sumenep dapat dikatakan tidak ada jika perspektifnya regulasi sebagai referensi.
Raperda Desa Wisata untuk Mengatur Keterlibatan dan Dukungan Pemerintah
H Sami’oeddin, anggota Komisi IV DPRD Sumenep mengatakan bahwa Raperda Desa Wisata sebagai respon atas potensi wisata desa yang akhir-akhir ini bermunculan.
Politisi PKB itu menilai, potensi wisata yang ada di Sumenep menjadi alternatif untuk dikembangkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pemerintah desa tidak bergantung pada dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD).
Oleh karena itu Raperda Desa Wisata hadir untuk mengatur keterlibatan dan dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan wisata di desa. Baik dari sisi infrastruktur, bantuan keuangan, pendampingan, promosi, hingga pengelolaan lingkungan sekitar wisata.
Selain itu, Raperda Desa Wisata ini juga untuk menjamin kelestarian alam, nilai-nilai budaya lokal, norma dan adat istiadat.
“Diharapkan dengan adanya perda ini pembangunan wisata di Sumenep diseriusi dan dibangun oleh pemerintah,” kata Sami’oeddin kepada jejak.co, beberapa waktu lalu. (rei).