Menyusuri Kakatua di Pulau Masakambing, Sempat Dipercaya sebagai Tanda Datangnya Musibah – Jejak

logo

Menyusuri Kakatua di Pulau Masakambing, Sempat Dipercaya sebagai Tanda Datangnya Musibah

Minggu, 8 Desember 2019 - 06:49 WIB

4 tahun yang lalu

Kakatua di Masakambing Kecamatan/Pulau Masalembu ini mulai langka. Kini warga sekitar menjaga populasi burung ini (Foto/Mazdon)

JEJAK.CO-Kabupaten Sumenep yang terdiri dari 126 pulau tidak hanya kaya minya dan gas bumi (Migas). Kabupaten di ujung timur Pulau Madura ini juga memiliki spesies hewan yang keberadaannya langka di alam.

Tepatnya di Desa Masakambing, salah satu pulau yang ada di Pulau/Kecamatan Masalembu terdapat burung kakatua jenis sulphurea abbotti. 

Untuk sampai ke daerah ini, membutuhkan perjalanan laut sekitar satu jam dari Desa Masalima Kecamatan Masalembu. 

Disana, burung Kakatua itu mudah ditemui. Kalau pagi hari, biasanya mencari makan ke daerah hutan mangrove. Menjelang matahari terbenam, burung-burung sudah mulai datang ke tempat yang biasa disinggahi. Tempat tidurnya di pohon kelapa. Sebagian itu ada juga yang masih di mangrouve.

Seperti yang diutarakan oleh salah seorang pelestari hutan (Pelhut) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) asal Desa (Pulau) Masakambing Kecamatam Masalembu, Usman Daeng Mangung. Dituturkan, keunikan burung Kakatua yang ada di Pulau Masakambing ini, salah satunya, adalah sifat kesetiaannya pada pasangannya. “Nggak selingkuh. Jadi, kalau pasangannya mati, ya udah, dia menyendiri. Ya, kadang-kadang gabung, tapi kebanyakan sendiri,” kata Daeng.

Perbedaan mencolok antara burung Kakatua Jambul Kuning ini dengan Kakatua yang ada di pulau dan negara lain adalah dari sisi paru, bulu, jambul, dan ukuran badannya.

Dibanding Kakatua Papua misalnya, sebut Daeng mencontohkan, ukuran parunya yang agak ramping memanjang, jambul mekar jadi tiga bagian, bulunya sedikit lebih buram, dan badannya yang sedikit lebih besar sekira 38-40 cm. Badan Kakatua lain rata-rata berukuran 33 cm.

Keberadaan hewan langka ini seringkali menjadi objek penelitian. Bahkan ada peneliti dari luar negeri yang datang ke ke Pulau Kakatua ini. Antara lain dari Australia, Amerika, Kanada, Singapura. “Itu yang pernah datang ke sini,” ujarnya.

Kedatangan mereka, jujur Daeng, tidak lebih hanya untuk meneliti, melihat, motret, memberi pakan, dan menginap di rumah warga selama beberapa hari. Yang ngojek, atau mengantarkan mereka dari tepi dermaga sampai ke lokasi persinggahan burung kakatua  dilayani oleh warga setempat, “seperti kalian, menggunakan odong-odong,” cerita Daeng mencontohkan.

Dulu, sekitar tahun 1970-an atau 1980-an, jumlah burung Kakatua Jambul Kuning ini masih ribuan. Sebab, kata Daeng, satu hektar lahan jagung bisa habis dalam sekejap. “Kayak burung perit (pipit, rwd) itu,” ujarnya.

Kini, burung ini tak banyak lagi. Kendati demikian, burung yang mudah beradaptasi dengan manusia ini sudah dijaga keberadaannya.

Daeng bercerita penyebab berkurangnya burung tersebut. Di tahun 70-an, orang yang datang ke Masakambing dibiarkan saja menangkap, mengambil, membawanya pulang, dan menjualnya secara bebas. 

Baru setelah dilaporkan bahwa jumlah Kakatua yang masuk ke daerah SDA-KKI mulai langka, akhirnya masyarakat Masakambing beserta aparat mulai sadar dan peduli. “Karena sudah dianggap terancam punah,” katanya.

“Ini satu-satunya di dunia. Hanya ada di Pulau Masakambing, yang jumlahnya, hasil pengamatan dari BKPSDA, minggu kemarin itu ditemukan 25 ekor,” imbuh Daeng.

Ditanyakan, apakah tidak mungkin penyebab langkanya burung ini karena imigrasi? Daeng menjelaskan bahwa burung ini tidak termasuk dalam spesies burung yang suka berimigrasi. Paling jauh, ungkap dia, hanya ke area mangrove yang banyak tumbuh di air payau pesisir Pulau Masakambing.

Lebih terang Daeng menjelaskan, kebiasaan burung Kakatua ini tidak sama dengan burung lain. “Dia itu nggak dipelihara sama warga. Dia terbang hidup di alam bebas. Makanannya biji-bijian, kedongdong, jagung, minumnya ya kelapa, kapu, dan hasil panen pohon pakan lainnya,” jelasnya.

Menurut pengakuan salah satu warga asal Desa Sukajeruk Kecamatan Masalembu, Ramdan (30), sebelum mendapatkan perlindungan dari pihak pemerintah setempat, burung-burung itu banyak yang dibunuh karena dianggap membawa malapetaka bagi penduduk setempat.

“Ada kepercayaan masyarakat sekitar sini, Mas. Kalau burung itu terbang mengelilingi  atap rumah warga, maka tidak lama kemudian, salah satu penghuni rumah tersebut pasti akan ada yang meninggal,” jelas Ramdan kepada Jejak.co, ditemui di warung kopi di sebelah kantor Kecamatan Masalembu, Sabtu (16/11/2019).

Selanjutnya, pada tahun 1995 hingga tahun 1999, ditemukan populasinya sudah tinggal 5 ekor. Pada tahun 2008 dilakukan penelitian oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI-Warsi), ditemukan burung kakatua sulphurea abbotti ini bertambah menjadi 8 ekor. Enam tahun setelah itu (2014), spesies satwa berparuh bengkok ini bertambah lagi menjadi 20 ekor.

Berkat kepedulian kepala desa, pemerintah setempat dan dukungan warga sekitar, utara Daeng, akhirnya populasinya perlahan-lahan meningkat kembali. Hingga tanggal 9 November 2019, jumlah Bekka (begitu warga biasa menyebut burung Kakatua Jambul Kuning ini, red) sudah ada 25 ekor.

Penulis : Mazdon
Editor   : Ahmad Ainol Horri


Baca Lainnya