Jejak.co – Sapiyah (67) atau biasa dipanggil Mak Cinnong tengah dilanda masalah tanah yang diklaim tetangganya sendiri. Janda tua ini tinggal dengan Nakiyah, cucunya yang tak punya ayah alias yatim harus menanggung beban berat di tengah hidupnya yang serba pas-pasan.
Mak Cinnong hidup di rumah panggung, Dusun Ketapang, RT 1 RW 1, Desa Masakambing, Kecamatan/Pulau Masalembu, Sumenep, Madura Jawa Timur. Keluarga miskin ini terus berjuang mempertahankan tanahnya demi membiayai pendidikan cucunya yang yatim.
Tanah yang saat ini diklaim tetangganya itu milik suaminya, almarhum Badaruddin, hasil beli ke Abd Kahar (Alm.) pada Oktober 1997. Dalam transaksi ini, kedua belah pihak membuat surat pernyataan jual beli tanah yang ditandatangani Abd Rahem (alm.) selaku Kades Masakambing saat itu.
Semenjak Badaruddin masih hidup, tanah tersebut dijadikan area bercocok tanam dengan berkebun pohon kelapa dan cengkeh bersama keluarganya, yakni Mak Cinnong.
Beberapa saat kemudian, penjual tanah Abd Kahar dan Kepala Desa Masakambing Abd Rahem meninggal dunia. Pada saat itu tidak ada sengketa, tidak ada tuntutan dari pihak keluarga Abd Kahar.
Bahkan hingga Badaruddin meninggal dunia pada 2013, istrinya atau Mak Cinnong terus mengelola tanah yang sudah dibeli suaminya. Setiap tahunnya Mak Cinnong biasa membayar pajak tanah yang sudah atasnama almarhum Badaruddin.
Mak Cinnong memperkejakan orang untuk mengelola tanah tersebut. Namanya Mathudi, warga setempat. Mak Cinnong mempekerjakan Mathudi karena puteranya yang bernama Hasbullah menetap di Dumai bersama istrinya orang Medan hingga akhirnya meninggal dunia pada 2015.
Setelah Hasbullah meninggal, putrinya yakni Nakiyah diasuh oleh Mak Cinnong di Masakambing. Kini Mak Cinnong hanya tinggal berdua dengan cucunya yang yatim.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari- harinya bersama cucunya, Mak Cinnong kemudian sempat menjual tanah tersebut ke Mathudi yang selama ini mengelola kebunnya, seharga Rp 60 juta.
Pada saat dijual ke Mathudi, tanah tersebut tetap tidak ada masalah. Pihak keluarga Abd Kahar tidak ada yang mempersalahkan.
Baru pada Maret 2020, tanah tersebut diklaim Imron yang merupakan keponakan Abd Kahar. Ia mengadukan masalah tersebut ke pemerintah desa setempat mengaku memiliki sertifikat.
Karena tanah dipersoalkan, Mathudi yang semula membeli tanah ke Mak Cinnong juga membatalkan.
Masalah ini tentu menjadi beban bagi Mak Cinnong yang saat ini sudah tidak sehat lagi. Bersama cucunya ia berharap ada keadilan atas kepemilikan tanahnya yang saat ini dipermasalahkan.
Mak Cinnong kemudian mengadu masalah tersebut ke Kepala Desa Masakambing agar persoalan tersebut diatasi. Namun upaya tersebut gagal. Dengan serba keterbatasan, Mak Cinnong terus mencari keadilan hingga dia mengadu ke Camat Masalembu.
Untuk sampai ke kantor Kecamatan Masalembu, Mak Cinnong harus menempuh perjalanan laut sekitar 5 mil. Ia bolak-balik ke Masalembu dengan harapan masalahnya segera selesai, namun upaya tersebut kembali kandas.
Pihak kecamatan saat melakukan mediasi tidak digubris oleh Imron dengan cara tidak menghadiri panggilan camat. Sementara Mak Cinnong dari Masakambing tetap hadir.
Kini Mak Cinnong dengam cucunya yang yatim tak bisa berbuat banyak. Dengan keterbatasan pengetahuan dan lemahnya ekonomi ia seolah pasrah karena menemui jalan buntu.
Satria Samsetia Utama yang merupakan kerabat dekat Mak Cinnong menceritakan bahwa tanah yang dibeli almarhum Badaruddin bernomor Kohir/Pepel 1686, No. Persil 113 IV, Luas 1.340 meter persegi dan tanah bernomor Kohir/Pepel 1355, No. Persil 123 IV, luas 840 meter persegi. Saat ini,
letter C sudah atasnama almarhum Badaruddin.
Satria yang saat ini mendampingi Mak Cinnong mengaku heran karena tanah tersebut dipersoalkan saat para pihak yang terlibat dalam jual beli tanah (Abd Kahar, Abd Rahem dan Badaruddin) meninggal dunia. Sementara pada saat mereka masih ada tidak dipersoalkan.
“Saat ini, hasil bumi tanah itu, berupa kelapa dan cengkeh diduga diserobot atau diambil oleh Imron,” ujarnya.
Terpisah, Kades Masakambing Uyung Warsito mengakui jika masalah tersebut tidak menemukan titik terang. Pihaknya sebagai pemimpin di desa tersebut sudah melakukan upaya mediasi antara kedua belah pihak.
Sejak masalah tersebut muncul, pihak desa dua kali melakukan mediasi. Keduanya dipanggil untuk dicarikan solusi.
Panggilan pertama, Imron dan Mak Cinnong sempat sama-sama hadir. Pada saat itu, keduanya sama-sama menunjukkan bukti kepemilikan tanah. Mak Cinnong membawa surat jual beli tanah yang ditandatangani penjual dan membeli serta diketahui kepala desa. Sementara Imron juga menunjukkan sertifikat. ” Sertifikat itu
Uyung menuturkan bahwa permintaan Mak Cinnong agar desa mengukur tanahnya agar diketahui keabsahannya. Tapi tidak ada iktikat baik dari Imron.
Untuk mewujudkan keinginan Mak Cinnong, desa kembali memanggil kedua kalinya guna memediasi, namun Imron tidak hadir.
Akhirnya, masalah tersebut dilimpahkan ke pihak Kecamatan Masalembu. Keduanya kembali dipanggil untuk dimediasi. Namun Imron kembali tidak hadir, sedang Mak Cinnong saat itu kembali hadir.
“Panggilan pertama Imron hadir. Dia bawa sertifikat (Fotocopy) tapi diambil lagi sama Imron. Sedang panggilan kedua dan ketiga di kecamatan juga tidak hadir. Sedangkan Ma Cinnong hadir terus,” terangnya
“Saya siap mengawal mak cinnong apabila dia punya inisiatif lain untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab upaya kami dengan mediasi di desa hingga camat tidak ada titik terang” imbuh Uyung Warsito, Kamis (25/6/2020).
Terpisah, Camat Masalembu Heru Cahyono mengaku bahwa masalah tersebut belum bisa dimediasi. Setelah mentok upaya pihak desa, mediasi yang dilakukan pihak kecamatan juga tidak terwujud lantaran Imron tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas.
Oleh sebab itu, pihaknya tidak bisa berbuat banyak atas masalah tersebut. “Pertama kades yang memanggil, kemudian saya yang panggil tapi pihak itu (Imron) tidak hadir juga,” jawabnya saat ditanya masalah Mak Cinnong.
Penulis : Ahmas Ainol Horri