Sumenep, Jejak.co-Pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Bappeda setempat mengusulkan revisi Perda RTRW. Klausul perubahan perda itu sudah masuk sejak 2020 di Bapemperda DPRD Sumenep, namun revisi itu belum dibahas. Para wakil rakyat berencana akan bahas tahun ini.
Rencana revisi Perda RTRW ini disinyalir kuat demi kepentingan bisnis fosfat di Kota Keris. Sehingga rencana itu mendapat penolakan.
Seperti yang disampaikan aktivis Ajaga Tanah Ajaga Na’poto (BATAN) Kiai A Dardiri Zubairi, bahwa rencana revisi Perda RTRW dinilai tidak masuk akal, karena prosesnya tidak transparan. Tidak ada konsultasi publik dalam bentuk diskusi publik, seminar, debat terbuka di media yang memungkinkan publik bisa memberikan aspirasinya seluas-luasnya.
“Kalau pun ada yang saya dengar Bappeda cuma bikin FGD (focus group discussion) tapi drafnya sudah ada, waktunya terbatas, alur FGD diarahkan untuk menyetujui,” terangnya saat ditanya soal rencana perubahan Perda RTRW, Rabu (13/1/2021).
Aktivis agraria yang juga sebagai Wakil Ketua PC NU Sumenep ini meminta agar Perda RTRW memberi kemaslahatan bagi rakyat Sumenep. Perda tersebut harus dibuat atas dasar kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang, “bukan jangka pendek dan juga bukan untuk kebutuhan segelintir orang, kelompok, atau pengusaha,” pintanya.
Ia kemudian menyinggung soal tambang. Menurutnya, dimana-mana keberadaan tambang merusak bukan membangun. Kiai Dardiri mencontohkan Nauru, negara kaya jatuh miskin setelah fosfatnya ditambang. Karenanya, pihaknya meminta agar DPRD Sumenep menolak revisi Perda RTRW.
“Jadi tolong hentikan buat kebijakan berjangka pendek, merusak, dan bukan untuk kemaslahatan rakyat Sumenep khususnya,” Imbuhnya.
Revisi Perda RTRW yang salah satunya untuk kepentingan fosfat tidak hanya menguntungkan pengusaha, tetapi menurut Kiai Dardiri juga akan menguntungkan penguasa.
“Ini sekali lagi bukti bahwa seringkali ada hubungan yang saling menguntungkan antara penguasa dan pengusaha. Agar penambangan fosfat yang merusak itu (seolah olah) legal maka langkah awal dibuatlah perda RTRW yang mengakomudasi kepentingan pengusaha,”ungkapnya.
“Alasannya macem-macem, agar investasi masuk, agar pertumbuhan ekonomi meningkat, dsb. Tetapi ujung ujungnya ya segelintir orang yang menikmati. Tentu tidak ada makan siang gratis bukan?,”imbuhnya.
Kiai Dardiri mengatakan, pemerintah daerah harus belajar dari kasus habisnya pesisir akibat alih fungsi lahan untuk tambak udang. “Dampaknya sekarang sudah terasa, masih mau ditambah dengan memberi ruang bagi pengusaha tambang,”ujarnya.
Lalu seperti apa dampak tambang fosfat? Kata Kiai Dardiri, tanah di Sumenep merupakan gugusan batu karst. Karst adalah tandon tempat menyimpan air ketika musim hujan.
“Kalau fosfat diambil tandonnya akan rusak. Dalam jangka panjang, kita akan mengalami kekeringan. Di beberapa titik jika musim kemarau sumur sumur rakyat sudah kekurangan air,”terangnya saat ditanya dampak tambang fosfat.
Selain itu, lanjutnya, tambang fosfat juga akan menyebabkan banjir, karena wilayah baru karst atau wilayah tambang fosfat itu adalah wilayah resapan air.
“Banjir di Sumenep yang makin besar tahun ini akibat rusaknya wilayah resapan air di hulu sungai Kebunagung dan sepanjang pesisir sungai. Bayangkan jika terjadi penambangan fosfat, akan makin mengerikan,”paparnya.
Tidak hanya itu, tambang fosfat juga akan mengurangi kesuburan tanah. Karena fosfat merupakan salah satu unsur yang menyuburkan tanah.
“Dan ini akan merugikan para petani. Dampaknya tentu pada ketahanan pangan,”pungkasnya.
Bappeda Bantah Revisi Perda RTRW Demi Kepentingan Fosfat
Kepala Bappeda Sumenep Yayak Nurwahyudi membantah revisi Perda RTRW demi kepentingan fosfat. Menurutnya, alasan pemerintah merevisi perda karena memang setiap lima tahun melakukan review. Dia juga mengatakan bahwa revisi itu bukan hanya fokus pada fosfat.
Yayak menyebutkan, revisi Perda RTRW juga demi masalah lahan pertanian, kota baru dan penambangan tanah yang tidak ada di RTRW.
“Jadi tidak ada sangkut pautnya untuk upaya golkan fosfat,” kata Yayak, Rabu (13/1/2021).
Yayak kemudian menyebutnya, Sumenep merupakan daerah yang kaya dengan fosfat. Dari 27 kecamatan, terdapat sekitar 15 Kecamatan memiliki kandungan fosfat. Semua daerah itu masuk dalam rancangan RTRW.
Penulis : Ahmad Ainol Horri