Jejak.co – Yusril Izha Mahendra, politikus senior Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus advokat senior, menyebrang ke kubu Joko Widodo usai membela Prabowo Subianto pada sengketa pemilihan presiden 2014.
Keputusan Yusril dinilai melengkapi representasi kelompok Islam di kubu Jokowi, meski Yusril mengklaim hanya akan mengurus persoalan hukum, bukan menggalang kekuatan politik bagi capres nomor urut satu itu.
“Saya ketua partai tapi pernah dipercaya menangani perkara partai lain, PPP dan Golkar, bersikap objektif, melepaskan pandangan politik dan menyelesaikan perkara sesuai hukum.”
“Hal yang sama juga akan terjadi dalam hubungan saya dan Jokowi saat ini,” kata Yusril kepada BBC News Indonesia, melalui sambungan telepon, Selasa (06/11).
PBB, partai yang didirikan Yusril tahun 1998 berasaskan Islam. Adapun, Yusril pernah aktif di Muhammadiyah dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.
Belakangan Yusril mewakili Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di pengadilan, menggugat keputusan pemerintah membubarkan organisasi tersebut.
“Selama ini banyak kritik kepada pemerintah yang dianggap jauh dari Islam, mungkin perlahan itu akan berubah,” kata Yusril memprediksi efek keputusannya menjadi pengacara Jokowi.
Bagaimanapun, merapatnya Yusril ke tim Jokowi dianggap konsekuensi politik identitas yang lebih dominan dibandingkan adu visi dalam ajang pilpres tahun depan.
Menurut Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, sikap Yusril satu bagian dengan bergabungnya Maruf Amin dan Ali Mochtar Ngabalin dengan Jokowi.
Maruf, duet Jokowi di pilpres 2019, merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia sekaligus menjabat Rois Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Sementara itu, Ngabalin pernah berkecimpung di sejumlah organisasi berbasis Islam, salah satunya Badan Koordinasi Muballigh Indonesia.
“Tantangan dan kelemahan terbesar Jokowi sebagai petahana sebenarnya apakah dia benar-benar sudah menjalankan janji-janji kampanyenya.”
“Tapi sayangnya lawannya berkutat pada isu identitas, jadi itu saja yang ia redam,” kata Hurriyah.
Yusril, Maruf, dan Ngabalin, menurut Hurriyah, dapat menjadi bukti kedekatan Jokowi dengan kalangan Islam. Citra yang disebutnya juga dibangun Jokowi melalui safari ke berbagai pesantren dengan gaya pakaian khas santri.
Dalam tiga jajak pendapat tahun 2018, pemegang hak suara dari kalangan Islam cenderung memilih Jokowi ketimbang Prabowo.
Merujuk kajian Agustus lalu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebut Jokowi mengungguli Prabowo di kalangan NU dan Muhammadiyah.
Sementara itu, pemilih Islam yang condong ke Prabowo mayoritas berasal dari massa Presidium Alumni 212, kelompok yang giat berunjuk rasa menentang Basuki Tjahaja Purnama pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Juli 2018, Jokowi dianggap sosok yang paling merepresentasikan Islam di Indonesia (47,9%), disusul Prabowo (30,1%).
Temuan itu muncul pada jajak pendapat yang digelar Pusat Kajian Pembangunan dan Pengelolaan Konflik Universitas Airlangga.
Adapaun pada survei Populi Center, Februari 2018, mayoritas suara responden dari NU, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam, juga memilih Jokowi.
Bahkan di kalangan pemilih Muslim yang tak terikat dengan ormas apapun, Jokowi meraup 57,1% suara, sedangkan Prabowo 27,3%.
Walaupun Jokowi sekilas berada di atas angin, peneliti LSI, Rully Akbar, menyebut Prabowo tetap berpeluang memenangkan suara mayoritas di kalangan pemilih Muslim.
Rully berpendapat, citra Jokowi dapat luluh jika isu seperti insiden pembakaran bendera bertuliskan tauhid membesar.
Sementara itu, Rully menilai Prabowo akan memaksimalkan pendekatan ke pemilih Muslim tak lama sebelum pencoblosan.
“Orang-orang di belakang Prabowo, seperti Aa Gym dan Ustaz Abdul Somad belum sepenuhnya turun,” kata Rully.
“Gerakan melalui salat subuh dan ibadah Jumat tidak dapat diprediksi karena biasanya dilakukan last minute.”
“Pemilih didekati melalui sisi yang paling sensitif, yaitu agama sehingga konstelasi bisa berubah cepat,” ujar Rully. (sumber: bbc.com)