JEJAK.CO, Sumenep – Gelombang demo selama seminggu ini mengguncang Kota Sumenep. Semua demo digelar mahasiswa dari berbagai elemen.
Awalnya demo berpusat ke kantor Pemerintah Kabupaten Sumenep. Dari semua elemen mahasiswa itu menyoroti masalah kemiskinan, kabupaten layak anak, alih fungsi lahan dan sejumlah masalah yang terjadi di ujung timur Pulau Madura ini.
Setelah gelombang demo di kantor Pemkab Sumenep usai, puluhan massa kembali menggelar demo ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumenep, Kamis (4/11/2021).
Aksi kali ini mengatasnamakan MPR Raya (Majelis Pemuda Revolusi). Puluhan massa itu soroti anggaran Pokok-Pokok Pikiran Rakyat (Pokir) anggota DPRD Sumenep, yang tahun depan dikabarkan sebesar Rp2 miliar. Bahkan, terdengar kabar jatah ketua fraksi lebih besar, Rp 2,5 miliar dan pimpinan DPRD Sumenep tembus hingga Rp3,5 miliar.
Anggaran Pokir anggota DPRD Sumenep naik dibandingkan tahun ini. Dan anggaran ini diduga menjadi kedok tindakan koruptif anggota legislatif.
“Pemberian dana pokir yang sekarang naik 100% dan memberikan “jatah” masing-masing anggota dewan dari APBD sebesar Rp2 milliar adalah tindakan koruptif dan diduga hanya alat bargaining antara legislatif dan ekskutif untuk mengamankan kepentingan masing-masing,” kata Nauval, koorlap aksi MPR Raya, saat gelar aksi di depan Kantor DPRD Sumenep, Kamis (4/11/2021).
Menurut Nauval, penggunaan dana pokir diduga cacat regulasi. Harusnya pokir itu disampaikan pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Kabupaten. Bukan pada saat penetapan Peraturan Daerah tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Menurutnya, aturan itu tercantum dalam PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. “Mestinya disampaikan saat Musrembang,” imbuhnya.
Nouval juga menambahkan, pelaksanaan pokir itu harusnya bersifat umum. Bukan bersifat usulan setiap anggota legislatif.
“Pokir bersifat usulan dari DPRD secara umum, bukan usulan tiap anggota DPRD. Sehingga tidak ada penjatahan kepada masing-masing anggota DPRD,” sambungnya.
Belum lagi, imbuhnya, anggota DPRD Sumenep mengurus proyek senilai 2 milliar sendiri. Mulai CV dan pokmasnya. Padahal, kewenangan itu bukan ranah legislatif. Melainkan tugas dari eksekutif.
“Masak ada legislatif dalam pengusulannya mencantumkan CV. Bukannya CV itu urusannya eksekutif. Maka hal ini akan melemahkan fungsi kontrolnya,” katanya.
Yang paling krusial, kata Nauval, pihaknya menemukan dugaan pemindahan program pokir anggota dewan ke daerah pemilihan (dapil) lain. “Misalnya dewan dapil 1, pokirnya pindah ke dapil 4, dewanya dapil 4 pindah ke dapil 2. Itu kita temukan,” ucapnya.
Sayangnya, Nauval tidak berani menyebut data lengkapnya pada awak media.
“Kita tidak bisa sebutkan dulu. Kita tunggu Ketua DPRD dulu untuk klarifikasi ke kita,” pintanya.
Untuk diketahui, MPR Raya sudah dua kali melakukan unjuk rasa kepada DPRD Sumenep. Namun belum mendapat respon apapun.
Sebelumnya, aksi demo digelar di kantor Pemkab Sumenep oleh sejumlah elemen mahasiswa. Pertama demo pada Minggu 31 Oktober. Saat itu mahasiswa soroti angka kemiskinan.
Di waktu yang bersamaan, KOPRI PMII Sumenep juga gelar aksi, mendesak Raperda tentang Kabupaten Layan Anak segera disahkan.
Keesokan harinya, Senin 1 November, aksi gelombang aksi kembali menggema dari PMII Komisariat Wiraraja. Mereka juga menyoroti masalah angka kemiskinan. Mereka kecewa karena Sumenep sampai menjadi project pengentt kemiskinan ekstrem.
Aksi kembali muncul pada Rabu, 3 November. Kali ini giliran BEMSU (BEM Sumenep). Dengan massa yang mencapai ratusan, BEMSU juga mengkritik masalah angka kemiskinan Sumenep yang cukup tinggi. Selain itu, juga masalah alih fungsi lahan yang dinilai merugikan masa depan masyarakat Sumenep.
Penulis : Rifand NL