JEJAK.CO – Jelang Pilkada Sumenep 2024, sahwat berkuasa para politisi dinilai berlebihan. Sikap sejumlah aktor politik di Sumenep, tidak mencerminkan budaya masyarakat Madura.
Hal itu disampaikan budayawan asal Sumenep, Ibnu Hajar ketika mengamati perilaku para politisi yang mendaftar calon bupati (cabup) dan calon wakil bupati (cawabup) Sumenep ke sejumlah partai politik (parpol). Meski sikap seperti itu dianggap lumrah, tapi Ibnu melihat ada sahwat berkuasa yang luar bisa.
“Saya amati, yang nampak prilaku sahwat berkuasa yang muncul. Memang wajar bahwa partai politik memproduk penguasa, tapi sahwat bekuasanya sangat berlebihan,” ujar Ibnu.
Ibnu menegaskan, potret sahwat berkuasa yang berlebihan tidak sesuai dengan kultur masyarakat Madura. Apalagi Sumenep dikenal dengan kabupaten yang sangat kaya dengan kebudayaan dan sejuta pesantren.
“Artinya masyarakat Sumenep sangat memegang teguh prinsip nilai-nilai budaya yang sangat luhung yang diwariskan para leluhur kita,” imbuhnya.
Budaya politik saat ini diakuinya sudah sedemikian rupa. Bahkan ada adagium;
satu orang kawan terlalu banyak, dan seribu musuh terlalu sedikit.
“Saling sikat dan sikut sudah jadi budaya dalam politik kita. Artinya, hal-hal seperti ini tidak ada dalam kebudayaaan kita, walaupun dalam politik terkadang ada.
Saya mengamati jelang pilkada, budaya politik ini sepertinya mulai merambah di dalam paradigma para politisi kita,” imbuhnya.
Ketika budaya politik dibangun dengan sahwat berkuasa yang berlebihan dan saling sikat dan sikut, tidak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya nanti.
“Sebab, tak mungkin tongkat yang bengkok bisa melahirkan bayangan yang lurus,” ucapnya.
Di Madura ada budaya malu. Hal itu kata Ibnu dipertegas dengan peribahasa, daripada putih mata lebih baik putih tulang.
“Daripada mananggung malu lebih baik kita mati. Artinya Adagium ini bukan untuk carok, tapi apakah tidak malu para politisi kita dengan potret budaya politik saat ini,” lanjutnya.
Di tengah masyarakat Sumenep yang religius, sikap aktor politik disebut jauh panggang dari api. Oleh sebab itu, Ibnu berharap parpol maupun <span;>politisi membangun politik budaya. Berpolitik dengan sandaran nilai-nilai luhur budaya yang dimiliki masyarakat.
“Bagaimana politisi yang mendaftar itu membangun paradigma politik budaya jangan budaya politik seperti potret hari ini, yang jauh dari nilai-nilai budaya,” harapnya.
Politik budaya yang dimaksud Ibnu, politisi harus punya prisip memegang teguh amanah yang diajarkan para leluhur dan pesantren. (rei)