Akhir-akhir ini ada trend baru di kalangan muda milenial, yakni nongkrong di cafe. Mereka banyak menghabiskan waktu di cafe, ngobrol sambil menikmati minuman.
Dengan berbagai fasilitas yang tersedia seperti free wifi dan aneka menu minuman terutama kopi, para pengusaha cafe berlomba untuk memikat kaum muda.
Tak ayal jika trend cafe ini juga menjamur di Pamekasan, kota ‘metropolis’-nya Madura. Tidak hanya di perkotaan, cafe juga tumbuh subur di pedesaan terutama di tempat-tempat yang memiliki potensi sebagai destinasi wisata.
Pamekasan adalah sebuah kota kecil yang memiliki program mewujudkan masyarakat islami dengan jargon “Gerbang Salam”. Salah satu sarana yang dibangun sebagai mercusuar syiar islami adalah gedung Islamic Center.
Namun sungguh ironis, di kota yang konon sangat menjunjung tinggi nilai-nilai islami ini ternyata tidak berbanding lurus dengan faktanya.
Salah satu contohnya adalah ketika kaum muslimin sedang khusyu’ mendengarkan khutbah Jum’at dan dilanjutkan dengan shalat Jum’at di Masjid Al-Anwar (selatan terminal lama), di seberang masjid anak-anak muda begitu santai menikmati minuman di cafe, tanpa sedikit pun merasa canggung.
Sungguh suatu pemandangan yang kurang elok. Hal ini bukan hanya sekali dua kali, bahkan tiap Jum’atan di cafe tersebut selalu ramai pengunjung. Mungkinkah mereka itu non muslim atau perantauan?
Sangat kecil kemungkinan bahwa mereka adalah perantauan, mengingat ada di antara mereka yang masih berseragam sekolah. Toh, walaupun mereka perantauan, tak bisakah mereka menghargai kaum muslimin yang sedang shalat Jum’at? Atau, tak bisakah pemilik cafe itu menutup sebentar, wong SPBU milik China saja ditutup jika pas Jum’atan!
Jika di Aceh ada Polisi Syariah yang memiliki tugas khusus mengawasi serta menindak pelaku yang melanggar syariat dan kode etik Islam, apakah di Pamekasan tidak dibutuhkan juga Polisi Syariah semacam itu guna mewujudkan cita Gerbang Salam?
*LPI Babul Ulum Nyalaran