Alih Fungsi Lahan Produktif Mengancam Petani – Jejak

logo

Alih Fungsi Lahan Produktif Mengancam Petani

Minggu, 23 Desember 2018 - 09:18 WIB

6 tahun yang lalu

Kiai A Dardiri Zubairi (kanan) pada kegiatan Kongres Petani dan Santri di PP. Nasy'atul Muta'allimin Gapura, Sumenep, Jawa Timur.

Jejak.co, Sumenep – Masalah alih fungsi lahan di Madura khususnya di Sumenep sudah sangat memprihatinkan. Hingga sekarang lahan pertanian yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat Madura terus terkikis, dikuasai para pemodal.

Masalah ini jelas akan berdampak pada masyarakat Madura sendiri yang mayoritas sebagai petani. Atas dasar itu, PC NU, Barisan Ajaga Tanah Ajaga Na’potoh (BATAN) dan Front Nahdliyin untuk Kedaultan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Sumenep menggelar Kongres Petani dan Santri di Madura yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura, Sumenep, Jawa Timur selama dua hari, Sabtu-Minggu (22-23/12/2018).

Apa sebenarnya yang menjadi pembahasan atau tujuan Kongres Petani dan Santri di Madura? Inilah hasil wawancara tim Jejak.co dengan Kiai A Dardiri Zubairi sebagai penggagas kongres sekaligus ketua BATAN.

Kenapa Kongres Petani dan Santri?

Manunggaling petani dan santri itu penting. Karena santri itu, latar belakangnya dari petani.

Tujuan dari kongres ini berusaha untuk berembuk mencari jalan keluar terhadap persoalan–persoalan petani.

Salah satu tantangan petani adalah alih fungsi lahan. Mungkin kedepan di berbagai daerah akan mengalami hal yang sama. Jadi paling tidak mulai sekarang petani memikirkan ketika investasi datang ke desanya kemudian lahan-lahan mulai habis, adakah cara lain yang bisa memungkinkan bagi mereka untuk melangsungkan hidupnya.

Tindak lanjut dari Kongres Petani dan Santri seperti apa?

Kongres selesai kemudian selesai juga. Tetapi kami menginginkan setelah kongres ada wadah saling belajar antar petani di Madura khususnya di Sumenep dari berbagai daerah, ada organisasi yang memungkinkan untuk saling saling belajar termasuk persoalan pertanian.

Misalnya menyangkut kearifan para petani membuat pupuk organik yang dipakai petani. Sekarang habis, mereka beralih sama pupuk kimia.

Ketergantungan sama pupuk kimia sangat tinggi sehingga satu sisi itu menghancurkan kearifan lokal yang sebenarnya mereka miliki. Benih sekarang harus beli, jadi semuanya serba beli yang sebenarnya kalau mau petani bareng-bareng menggunakan sumber daya alam yang ada disekitarnya untuk membuat pupuk dan benih secara gratis, bisa dilakukan sendiri sehingga mengurangi ongkos produksi.

Harapan dari Kongres Petani dan Santri seperti apa?

Tujuan dalam kongres ini diakui memang rintisan yang tidak sekali jadi. Tetapi harapan para aktivis nahdliyin dalam jangka panjang memang ada wadah organisasi, ruang belajar bagi para petani untuk belajar tentang persoalan petani yang dihadapi termasuk persoalan bagaimana menanam yang baik, bagaimana menggunakan pupuk organik lagi, bagaimana membuat benih yang sebenarnya kearifan lokalnya sudah dimiliki oleh para petani yang sekarang hancur gara-gara ketergantungan pada pupuk kimia dan benih yang dihasilkan oleh kapitalis benih.

Apakah ada rekomendasi pascakongres?

Kongres ini memungkinkan adanya rekomendasi kepada pemerintah maupun kepada petani sendiri untuk menyikapi masalah alih fungsi lahan dan petani sendiri. Semua itu tergantung pada forum yang akan dibahas dalam sidang komisi yang akan berlangsung hari ini (23/12/2018).

Apakah selama ini pemerintah sudah mengakomodir kearifan lokal dalam menyambut investasi?

Kalau saya memangdangnya begini, saya melihat dalam beberapa bulan terakhir ada dua proyek besar, mungkin sudah dibangun atau belum dibangun. Misalnya, apakah semua itu sesuai dengan Perda Perlindungan Lahan Pertanin Pangan Berkelanjutan (LP2B) atau tidak. Satu proyek sport center yang dibangun di lahan tujuh hektar dan kedua, hotel internasional.

Saya tidak tahu dimana lokasinya tetapi maksud saya ketika ada perda harus tegas karena dalam perda itu kalau kebetulan lahan produktif yang digunakan milik negara maka pengembang atau pemerintah harus mengganti lahan produktif yang sama sebanyak dua kali lipat.

Bagaimana anda menyikapi adanya Perda LP2B?

Saya bersyukur, cuma problemnya pada persoalan ketegasan. Untuk jangka pendek perda itu harus maksimal ditegakkan dan kalau ada kebutuhan lain terkait dengan perda atau perbub bisa lihat situasi kalau harus direspon secara cepat dan itu mendesak karena banyak alih fungsi lahan, menurut saya peraturan susulan perlu dibuat.

Bagaimana Anda melihat laju alih fungsi lahan di Sumenep?

Saya melihat perangkat untuk mengerim laju alih fungsi lahan sudah ada meskipun mungkin tidak sempurna, cuma persoalan ketegasan dalam melaksanakan perda itu. Kedepan, mungkin pemerintah daerah butuh banyak mengadakan ruang-ruang yang memungkinkan masyarakat bisa menggagas pikiran juga.

Misalnya hotel internasional. Bisa tidak kalau jalan keluarnya penginapan yang kurang, memanfaatkan rumah warga sebagai homestay. Jadi kalau di kota kira-kira ada pendaftaran rumah-rumah warga yang bisa digunakan homestay bagi wisatawan siapa saja buka.

Kemudian kriteria rumah yang bisa dijadikan homestay seperti apa, itu ditentukan pemerintah berdasar dengan warga, misalnya harus bersih harus apa kan tinggal dibikin.

Dengan begitu mungkin hotel tidak perlu dibangun karena secara langsung dampak ekonominya kepada warga bukan kepada pemilik hotel apalagi hotel internasional.

Tetapi kalau dibuka ruang aspirasinya maka kemungkinan pikiran-pikiran cerdas dari warga akan muncul. Jadi tidak simsalabin.

Temuan BATAN soal alih fungsi lahan seperti apa?

Sampai detik ini masih berlangsung. Seperti di pantai utara tepatnya di Desa Badur Kecamatan Batuputih Sumenep proyek tambak udang. Saya tidak tahu apakah berlangsung atau tidak proyek itu.

Sekarang muncul perbedaan antara pro dan kontra. Kemudian tambak udang di Bluk Ares Ambunten, Sumenep. Informasinya begitu, saya tidak tahu berlangsung atau tidak.

Apakah kongres juga akan membahas pariwisata?

Secara langsung tidak tetapi yang terkait dengan alih fungsi lahan, bisa jadi misalnya di Giliyang, disana banyak juga tanah yang sudah dikuasai. Selama bersinggungan dengan petani mungkin saja persoalan itu dibahas tidak pada aspek pariwisatanya tetapi dampaknya pada alih fungsi lahan.

Anda melihat perencanaan pengembangan pariwisata di Sumenep seperti apa?

Saya melihat master plan pariwisata kita yang juga nyasar ke alih fungsi lahan kan belum dibikin. Saya dengar belum dibikin. Coba dibikin, misalnya berdasarkan banyak aspirasi sehingga tahapannya jelas dalam pengembangan, apakah nanti akan menyinggung alih fungsi lahan bisa ketahuan dari master plan.

Saya melihat pengembangan wisata itu berjalan alamiah, nemu di jalan kegiatan ini dilakukan padahal bisa jadi antar satu kegiatan yang awal dengan yang akhir tidak nyambung. Kalau tahapannnya jelas, pariwisata yang mau dibangun ini maka tidak akan menyasar ke alih fungsi lahan dan bisa meningkatkan ekonomi warga. (subaidi/yon)


Baca Lainnya