Keris sebagai Simbol Kelas Sosial – Jejak

logo

Keris sebagai Simbol Kelas Sosial

Minggu, 22 September 2019 - 17:20 WIB

6 tahun yang lalu

Pameran Keris 2019 yang diselenggarakan di Sumenep. Kegiatan ini sebagai wujud dari menjaga budaya yang ada di nusantara. (Foto/Mazdon)

JEJAK.CO-Sebagai karya seni, karya doa, karya estetis, karya peradaban bangsa, keris memiliki nilai yang tak terhingga. Tidak hanya itu, keris pada zaman Pararaton menjadi simbol kelas sosial karena setiap keris memiliki filosofi yang menggambarkan kehidupan masyarakat kala itu.

“Jangankan keris, batik parang saja, kalau bukan keluarga keraton itu nggak boleh makek. Yang makek dibunuh, yang jual dibunuh. Itu baru batik, apalagi keris,” papar salah seorang politisi PDI Perjuangan, Darul Hasyim Fath.

Pria yang pernah studi di UGM Yogyakarta ini menilai, lekukan keris, dari dataran hingga gelembungnya, model pamor, bukan hanya sekadar urusan model. “Itu bisa menjadi urusan simbol betapa tulusnya empu di masalalu, kerja keras para empu,” imbuhnya.

Salah satu pengurus Serikat Pelestari Tosan Aji (Senapati) Nusantara, Jugil Adiningrat mengatakan, di masalalu ketika dikonversi kepada rupiah, keris itu tidak ternilai harganya.

Hal tersebut tidak lepas dari betapa sukarnya pembuatan keris pada zaman itu. Tidak serta merta dibentuk sedemikian rupa. Selain membutuhkan keahlian khusus, bahan-bahan pilihan, pembuatan keris pada zaman Pararaton harus melalui proses yang cukup matang dan membutuhkan waktu lama. Sehingga, kekuatan mistifikasi yang terkandung dalam sebilah keris begitu dahsyat.

Empu yang menciptakan keris juga memiliki keahlian yang memadai. Pembuat keris dituntut harus mumpuni dalam ilmu segi seluk-beluk zat besi, astronomi, estetika, fisika, kimia, dan disiplin ilmu lain yang berkaitan.

“Misalnya, empu membuat keris harus tepat memilih waktu, pukul sekian tidak bagus untuk ini, jam sekian bagus, harus pakai baju apa, dan sebagainya tentang ilmu primbon itu. Lain masih bagaimana cara menyatukan kohesi antara besi dan zat batu meteor,” katanya seperti tidak percaya. “Jadi, menciptakan pusaka itu sampai segitunya,” imbuh pria yang saat ini tinggal di Yogyakarta ini.

Selain itu, dalam pembuatan keris, seorang empu juga harus menguasai teori keseimbangan yang dalam dunia arsitek dikenal dengan istilah Fibonacci; ilmu tentang deret angka dimana di dalamnya dijelaskan mengenai struktur dan kadar penciptaan manusia.

“Jika misal seseorang mempunyai tinggi tubuh 170 sentimeter, maka jika coba kita terapkan rumus pada teori Fibonacci itu, pasti akan ditemukan bahwa panjang lengannya sekian, ukuran jari-jarinya sekian, besar daun telinganya sekian, dan seterusnya. “Pasti ketemu itu. Dan itu sekarang dipakai di keilmuan arsitektur. Nah, keris sudah memakai itu,” jelasnya.

Kemudian Jugil atau akrab disapa Yogi juga menceritakan bagaimana proses pembuatan keris legendaris Ken Arok yang diciptakan oleh Empu Gandring. “Jadi, itu ceritanya dia 9 bulan puasa untuk mendapat jatuhnya meteor dari langit, untuk mendapatkan bahan material penciptaan keris itu. Habis itu masih bikin, hampir satu tahun itu. Nggak selesai-selesai, sekitar 2 tahunan baru selesai. Untuk satu keris itu,” katanya.

Itulah kenapa keris bertuah dan memiliki nilai yang tak terhingga. Yogi lalu mencontohkan sebilah keris pada zaman Mataram Islam, Keris Joko Piturun yang diciptakan oleh Kiai Kupek. Keris itu tidak cukup ditebus dengan rupiah, bahkan seandainya alun-alun kerajaan ketika itu dijual sekalipun tidak akan menyamai nilai keris tersebut. “Itu yang saya sebut tak ternilai,” ujarnya.

Dalam manuskrip yang ditulis oleh Van Hoeven, pegangan keris yang terbuat dari kayu ala Jogja, bentuknya kecil, pada zaman kolonial itu bisa digadaikan.

“Pada zaman kolonial sudah ada penggadaian. Jadi, ketika itu keris bisa dijadikan jaminan di pegadaian. Pegangannya itu sama dengan 15 gram emas. Bayangkan sekarang 1 gram emas harganya misalkan Rp600 ribu, 10 gram saja sudah Rp6 juta. Berarti 15 gram ketika itu harganya sudah mencapai Rp9 jutaan. Pegangannya saja,” cerita Yogi.

Semua itu menunjukkan bahwa penghargaan terhadap keris betul-betul tinggi, baik dari segi nilai seni, material, filosofi, dan sebagainya.

Menurut Yogi, kita saat ini sedang mengalami degradasi bagaimana memposisikan karya seni, karya doa, karya estetis, karya peradaban bangsa, yang salah satunya adalah keris ini. “Untuk keris yang harganya fantastis saat ini, Rp10 juta, Rp100 juta, M-M-man atau yang seperti melebihi harga alun-alun itu, kalau di sini kan ndak ada. Jadi pada masalalu karya nusantara ini sangat tinggi, sangatlah dihargai,” pungkas pecinta keris asal Bluto itu.

Penulis : Mazdon
Editor   : Ahmad Ainol Horri


Baca Lainnya