Jejak.co-Lesbumi NU Sumenep, Madura, Jawa Timur gelar dialog perdamaian, Kamis malam (18/7/2019).
Kegiatan yang diselenggarakan di Gedung PC NU Sumenep ini dalam rangka menyikapi suasana pasca pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Selain itu, dialog tersebut adalah untuk menggali potensi khazanah kearifal lokal demi perdamaian nusantara.
N. Hidayat, salah satu dewan pembina Lesbumi NU Sumenep menyampaikan, acara dialog ini menghadirkan dua narasumber, yakni Hadi Soyono, penulis buku ‘Merawat Perdamaian’ dan peneliti bidang psikologi-sosial asal Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta dan K Ahmad Halimi, Pengasuh Pondok Pesantren Robin Sumenep.
Hadi Suyono menyampaikan, masyarakat yang heterogen dan bercorak multikultural ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, masyarakat harus mampu menentukan sikap di tengah panasnya percaturan politik pra-pilpres sampai terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia secara resmi bersama KH Ma’ruf Amin sebagai wakilnya.
Menurutnya, bekal perdamaian bisa digali melalui khazanah kearifan setempat dan artefak-artefak lokal. Keragaman budaya dan banyaknya suku bangsa di Indonesia, seharusnya tidak menjadi faktor yang menyebabkan konflik dan kericuhan.
“Kita mesti legowo dengan adanya perbedaan, saling terbuka, semaksimal mungkin menghindari sikap pemicu kesalahpahaman dan mudah memaafkan. Bukankah hidup damai berdampingan itu menyenangkan, kebahagiaan yang mengembang? Lalu mengapa orang-orang di sana suka bertengkar dan berperang,” imbuhnya heran.
Lebih lanjut, Hadi Suyono menjelaskan filosofi dari pitutur orang jawa yang sangat kesohor, “Ngono ya ngono, tapi ojo ngono,” pesannya. Menurutnya, hidup ini benar milik kita semua, kita bebas melakukan apa saja. Akan tetapi, dalam setiap tindakan mesti berpikir terlebih dahulu akan akibat yang bisa ditimbulkannya. “Kita rasakan, kita kembalikan bagaimana jika itu menimpa diri kita sendiri,” katanya.
Hadi kemudian menceritakan kerukunan warga pesisir di Legung Sumenep. Ia merasakan betapa ademnya hidup bersosial dan berbaur dengan masyarakat Legung dimana rata-rata pencahariannya adalah sebagai nelayan.
“Duduk dan cangkrukan bersama masyarakat sekitar di hamparan pasir pesisir utara Madura, betapa hati ini riang dan adem. Di sana kita berbagi cerita dan sama-sama terbuka mengutarakan pengalaman hidup masing-masing,” cerita Suyono sambil mengelus dadanya.
“Mereka hidup di alam yang benar-benar nyata, bukan malah menyebarkan hoaks di dunia maya,” imbuhnya.
Sementara itu, menurut K Halimi, beberapa penyebab konflik dan perang adalah karena egoisme yang tak terkendali, didukung juga oleh keinginan untuk terus berkompetisi. “Namanya juga ego, ya pasti nggak mau ‘give’, maunya ‘take’ terus,” paparnya lugas.
“Dalam berkompetisi, pasti tujuan akhirnya adalah menang atau kalah. Nah, jika mental kompetitif ini terus meninggi dan tidak dibarengi dengan kerendahhatian, kontrol dan sadar terlupakan, maka semua orang akan terus berebut menang,” imbuhnya.
Kompetitif yang dimaksud adalah semangat bersaing, bersaing untuk menjadi yang terbaik. “Tidak mungkin! Jangan jadi orang terbaik. Orang terbaik itu hanya Nabi Muhammad, setelah itu tidak ada. Kita jadi orang baik saja,” pesannya.
Penyebab lain munculnya konflik, lanjut K Halimi, adalah rebaknya hoaks dimana informasi yang tersebar di dunia maya kian membludak tak terfilter, mana yang manfaat dan mana yang bikin mudarat. Ia mencontohkan Suriah amburadul karena hoaks yang merajalela. Pemerintah setempat kewalahan atau barangkali sudah terlambat dalam meredam hoaks, sehingga antar sesama muslim di sana rentan berperang.
Kegiatan ini dimeriahkan oleh musisi Komunitas Damarate Sumenep. Setiap jedah, musik ini mencairkan suasana dan menghibur undangan yang hadir dalam acara tersebut.(don/yon)