Jejak.co-Belakangan ini, di Sumenep, kota di ujung timur Pulau Madura menjamur kafe dengan sajian minuman dan makanan berkelas. Sehingga untuk nongkrong di tempat ini, harus rela merogoh gocek dalam-dalam.
Setiap hari, sejumlah kafe di Kota Keris ini padat pengunjung. Mulai dari pelajar, mahasiswa, aktivis hingga politisi dan pejabat. Kafe seolah menjadi tempat yang paling favorit bagi mereka yang berkantong tebal meskipun hanya untuk sekadar nongkrong.
Banyaknya kafe ini seolah mengubah gaya hidup masyarakat Sumenep. Yang semula, budaya ngopi di Sumenep hanya di tempat-tempat biasa, seperti warung sederhana di pinggir jalan yang bising dengan kendaraan bermotor, kini di ruangan yang elit.
Perubahan gaya hidup nongkrong di tempat elit ini pada dasarnya tidak lepas dari pengaruh budaya luar. Meskipun di sisi lain, budaya nongkrong di kafe itu sebagian selaras dengan budaya Madura.
Meningkatnya Konsumerisme
Pernyataan tersebut datang dari cerita salah seorang pemilik kafe Tabularasa Sumenep, Faiqul Khair. Budaya ngafe di Sumenep, terang Faiq, dibanding tiga kabupaten lain yang ada di Madura sudah tinggi sekali, terutama yang kita sebut ‘ngopi’,
Ia lalu menceritakan bahwa budaya ngopi di Sumenep tidak hanya dari kalangan kaum laki-laki. Wanita yang suka ngopi juga banyak.
Pelanggan yang sering datang ke kafenya seringkali pesan kopi yang harganya tidak lumrah di Sumenep.
Bahkan, pelanggan tersebut minta kopi yang paling mahal, “bukan yang paling enak, maka saya keluarkan yang seharga Rp 50ribu,” bebernya.
Menurutnya, tingginya budaya ngafe di Sumenep disebabkan (boleh jadi) karena budaya merantau, banyak lulusan SMA yang meneruskan kuliah di Yogyakarta, Jakarta, Malang, dan sebagainya dimana di sana budaya ngafe menjadi seperti rutinitas saat waktu senggang kuliah. Selain itu, karena faktor kekinian.
“Di luaran itu kan lagi ini, semua tentang kopi. Nah, orang di sini juga mulai mencari. Ditambah lagi, komunitas yang menggerakkan kopi di Sumenep itu juga jalan,” katanya.
Semua itu, petanda bahwa budaya konsumerisme masyarakat Sumenep semakin meningkat.
Tertarik Karena Wifi dan Suka Kopi
Ada yang menarik ketika Jejak.co coba menanyakan meningkatnya minat masyarakat terhadap budaya ngafe. Abyan dan Alfan, ditemui sedang asyik nongkrong di Kafe Tabularasa, bersama dua orang teman lainnya, Mufti (22) dan Warid (19).
Mereka mengaku tertarik berkunjung ke kafe karena di situ mereka merasa senang ngegosip dan sesekali bertukar wawasan dan pengalamannya seputar dunia akademik.
“Ya, kalau nggak tentang dunia kampus, ya ngegosip, lah. Awalnya, ya ngobrol perihal perkuliahan di kampus, tapi setelah itu terus ngalor-ngidul kemana-mana,” jujur Abyan yang saat ini berstatus sebagai mahasiswa semester 3 di IAIN Madura itu.
Selain itu, ketersediaan wifi juga menjadi alasan mengapa kadang mereka suka betah nongkrong di kafe. “Tapi, kadang kita ngafe itu hanya ingin wifi-nya, mas. Nge-game, atau ada juga yang kadang hanya buat story medsos, gitu,” celetuk Warid.
Mereka juga mengaku bahwa dirinya tidak jarang duduk ngerumpi bareng sambil ngopi semalam suntuk. “Sampai ada istilah, kopi to ergo sum. Aku ngopi, maka aku ada,” tukas Abyan.
Jadi Peluang Kerja
Maraknya kafe di Kota Sumekar sekaligus membuka lapangan kerja. Yuliani (23), memilih kerja di kafe sekalipun dirinya mengaku tidak suka ngopi maupun makan di kafe.
Semenjak lulus dari SMA 5 tahun lalu, perempuan ini langsung mendapat pekerjaan di kafe. Ia mengaku senang bekerja di kafe. “Alhamdulillah bisa nafkahi anak,” tuturnya.
Kafe dan Manifestasi Budaya Masyarakat Madura
Darul Hasyim Fath, Politisi muda PDI Perjuangan menilai bahwa banyaknya pengunjung kafe yang sedang menjamur di Sumenep sebagai manifestasi dari sosialitas budaya Taneyan Lanjang yang orang itu selalu merasa tertikam sunyi pada saat di ujung lelah kesehariannya.
“Budaya orang Madura itu kan tor-catoran (ngobrol), suka kongkow-kongkow. Habis kerja, mau apa? Dia selalu butuh teman berbincang. Dia nyangkul ketemu batu, dia nyangkul lalu cangkulnya rusak, dan sebagainya. Jadi, mula-mula itu,” cerita pria yang pernah studi di UGM Yogyakarta ini.
Menurut Darul, bukan karena Madura kota yang gersang, jauh dari industrialisasi dan tidak modern, hingga orang punya waktu berkongkow-kongkow. “Tetapi tipikal orang Madura emang gitu, suka cangkrukan, ngobrol-ngobrol,” imbuhnya.
Dirinya menilai, kafe di Sumenep dengan di Yogyakarta berbeda. Di tempat dia belajar, Darul menyebutkan kafe di Yogyakarta seperti perpus. Jadi, selain nongkrong pengunjung bisa baca dan bahkan diskusi tentang topik-topik terkini.
“Kalau di Jogja itu kafe tak ubahnya perpus, mengelola buku. Jadi orang mau ke kafe apa itu sudah tahu. Sifatnya segmented. Kafe ini segmennya politik, kafe ini budaya dan semacamnya,” paparnya.
Belum Ada Kafe yang Tawarkan Konsep
Banyaknya kafe di Sumenep belum ada yang tawarkan konsep. Selain itu, kafe yang bermunculan di Sumenep harganya juga tidak familiar untuk kalangan menengah ke bawah.
Berbeda dengan kafe-kafe yang disebutkan di atas, Kancakona Kopi yang berlokasi di Jalan Lingkar Barat, Gunggung, Sumenep. Kehadirannya menawarkan konsep bahwa semestinya kafe itu ada sebagai wahana edukasi.
M Faizi, budayawan asal Guluk-guluk Sumenep, kafe yang ada saat ini hanya menawarkan tempat nongkrong. Sejatinya, kafe itu menawarkan konsep edukasi yang di dalamnya menawarkan kegiatan ilmiah.
Ia mencontohkan kafe yang berkembang di luar Madura, salah satunya di Yogyakarta ada Kafe Basa-basi. Di sana kafe tidak hanya jual tempat tapi menawarkan konsep ilmiah dengan harga kopi yang hanya Rp5 ribuan. Kopinya kopi kelas rendah sama dengan kopi Belandongan yang sudah kesuhur bagi kalangan aktivis.
“Jadi, kalau saya lihat bentuk kafenya rata-rata sama, tapi harus punya panggung, dan buat untuk acara. Ya, acara ilmiah. Makanya acara berat pun kadang-kadang di situ. Jadi, harus menjual konsep,” ungkapnya mencontohkan kafe di Yogyakarta.
Baginya, kafe yang hanya jual kopi, warna tempat, cat hitam, tempat nongkrong, wifi gratis, musik-musik dan racika menu kopi yang langka sekalipun tidak menarik .
“Menunya sama saja, mesinnya juga sama saja. Jadi, menurut saya, kalau tidak menjual konsep, ya nggak ada apa-apanya,” lanjutnya.
“Kalau kafe dengan musik live itu mah juga biasa. Yang jelas, kalau yang punya konsep acara (ilmiah, Red) itu, di Sumenep, hanya Kafe Kancakona. Rutin pengajian Kitab Khutbah Jumat setiap hari Rabu sore,” pungkasnya
Penulis : Mazdon
Editor : Ahmad Ainol Horri