Membaca Petani, Keluar dari Kungkungan Kewajaran – Jejak

logo

Membaca Petani, Keluar dari Kungkungan Kewajaran
Oleh: A. Dardiri Zubairi

Senin, 14 Januari 2019 - 21:36 WIB

6 tahun yang lalu

para petani (istimewa)

Jejak.co – Sebagai orang desa, setiap hari saya menyaksikan begitu sibuknya petani musim hujan ini. Pagi hari petani berangkat ke sawah bersaing dengan sinar matahari yang baru saja bangkit. Siang atau sore kembali sawah disambangi. Tak bosan-bosannya. Itulah kegiatan setiap harinya hingga penen tiba. Rutin. (Seolah) alamiah.

Sebelum sawah ditanami, petani membeli bibit, sesuatu yang dulu dibikin sendiri. Setelah ditanam, petani membeli pupuk kimia yang dulu juga dibuatnya sendiri. Kearifan lokal menyemai benih dan membuat pupuk sendiri tiba-tiba lenyap ditelan perubahan zaman. Perusahaan sekarang menyediakan bibit dan pupuk yang dibutuhkan petani. Bibit punya perusahaan amrik, dan pupuk produksi petrokimia.

Perubahan ini pun tetap kita anggap alamiah. Malah kita anggap kemajuan hasil ilmu pengtahuan dan tehnologi. Hasil peradaban modern. Bodoh jika petani tak mau berubah, masak mau repot menyemai benih sendiri dan menggunakan pupuk kotoran hewan yang baunya setengah mati? Paling banter kalau dianggap perubahan ya perubahan kesadaran, tepatnya kesadaran untuk maju. Jadi masalah ini cuma dipahami sebagai perubahan psikologis.

Padahal jika ditelisik hancurnya kearifan lokal petani tidak terjadi secara alamiah. Tapi ia dihancurkan dan dilenyapkan. Oleh siapa? Oleh kekuatan yang memiliki kemampuan mengatur dan memaksa kesadaran semua orang untuk menerima bahwa perubahan itu wajar, alamiah, maka tak perlu di soal. Bukankah pikiran kita begitu, meski anehnya kita sudah menyandang gelar dari Perguruan Tinggi?

Berarti yang kita anggap alamiah seperti rutinitas petani bertani, membeli bibit, membeli pupuk kimia, seragamnya jenis tanaman, hilangnya pangan lokal, an sebagainya adalah hasil dari kekuasaan yang digelar yang telah membentuk jaringan rumit. Ada korporasi, ada agen keuangan internasional, ada tehnokrat, ada birokrasi yang diorkestrasi untuk meminggirkan petani. Mereka bekerja sangat senyap, tidak kita sadari, karena mereka berlindung di balik yang alamiah, yang kita anggap sebagai peristiwa wajar keseharian.

Ini baru menyangkut petani, belum lahannya yang saat ini dirampas. Belum lagi yang lain (nelayan, pedagang kecil, pekerja informal, buruh) yang nasibnya sama, dimana rakyat memang seperti sengaja agar tak memiliki nafas lagi alias mati.

Tugas kita adalah membongkar seauatu yang kita anggap alamiah itu. Sesuatu yang jarang diambil orang karena harus menentang arus, arusnya jaringan kekuatan tadi yang memuakkan itu.


Baca Lainnya