JEJAK.CO – International Women’s Day’s (IWD) yang dirayakan pada setiap 8 Maret menjadi momentum kebangkitan kaum hawa di seluruh dunia akan pentingnya pengakuan dan kesetaraan dalam ruang sosial politik.
Penetapan 8 Maret tidak terlepas dari perjuangan panjang yang dimulai sejak 1908. Kala itu, sekitar 15.000 perempuan berbaris di New York menuntut jam kerja yang lebih singkat, upah yang lebih baik dan hak untuk memilih.
Peristiwa itu kemudian menjadi titik tolak pergerakan perempuan. Ditandai dengan deklarasi Hari Perempuan Nasional pertama oleh Partai Sosialis Amerika dan dirayakan pada tanggal 23 Februari di seluruh Amerika hingga 1913.
Pada Kongres Hari Perempuan Internasionap di Copenhagen, tokoh perempuan Clara Zetkin mengusulkan International Women’s Day’s. Untuk pengingat arti penting perjuangan perempuan di seluruh dunia. Sejak itulah pertama kalinya pada 1911 di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss, pada 19 Maret merayakan hari perempuan international
Kemudian muncul perdebatan di tubuh gerakan perempuan terkait penentuan tanggal perayaan. Setelah menempuh jalan berliku akhirnya disepakati 8 Maret menjadi perayaan International Women’s Day’s yang mengacu kepada perjuangan perempuan kelas pekerja tahun 1908. Hal itu pula yang menjadi dasar diakuinya 8 Maret oleh PBB.
Lantas bagaimana perempuan abad ini memandang IWD. Menurut aktivis perempuan Sumenep Arisya Dinda Nurmala Putri mengatakan, IWD merupakan kehendak sejarah bahwa kala itu hingga kini bahkan perempuan masih selalu menjadi kelas nomor dua.
Jika dilihat dari fakta sejarah, awal mulanya pemicu pergerakan perempuan kelas pekerja kala itu tidak terlepas dari diskriminasi perempuan di lapangan ekonomi, yaitu eksploitasi melalui jam kerja panjang, disparitas upah dan independensi politik.
Situasi yang dialami perempuan di lapangan ekonomi itu hingga kini tidak berubah utamanya di negara belahan dunai ketiga termasuk Indonesia. Kata dia, itu terlihat bagaimana rata-rata upah perempuan di bawah laki-laki. Belum lagi ancaman perkusi di ruang kerja yang sering dialami
“IWD harus menjadi momentum dan pengingat bagi perempuan Indonesia dan dunia, untuk bersatu menuntut hak demokratisnya,” katanya, Selasa (08/03/2022).
Dalam politik Indonesia, partisipasi perempuan masih sangat rendah. Saat ini hanya perempuan-perempuan kelas borjuasi yang bisa dengan mudah menyalurkan aspirasi politiknya. Dan hak-hak demokratis dapat terpenuhi. Sementara mayoritas perempuan di Indonesia masih tidak mendapatkan hak politiknya.
“Untuk itu penting bagi perempuan-perempuan di Indonesia untuk membangun persatuan, dan solidaritas ke dalam satu wadah organisasi replica watches rolex maju,” tandasnya.
Perempuan mantan Ketua Rayon Ir Soekarno PMII Unija ini melihat, situasi ini tidak terlepas, dari langgengnya sistem feodal patriarki di Indonesia yang terus dipertahankan melalui sistem ekonomi global bernama neo liberalisme dengan tujuan akumulasi kapital.
Hal itu dapat dibuktikan, banyak perempuan di pabrik-pabrik multinasional dan perkebunan besar dengan upah di bawah rata-rata. Maka dari itu dibutuhkan dukungan dari kekuatan-kekuatan lain untuk meruntuhkan sistem tersebut.
“Jika di sebuah organisasi gerakan melihat perempuan hanya sibuk dengan pakaian dan make up, itu adalah musuh yang sedang menyusup. Tapi ketika melihat seorang laki-laki yang melepaskan segala privilese-nya itu adalah kamerad yang harus dipertahankan,” ujarnya.
Penulis : Thofu